
BANGSA, menurut Benedict Anderson, adalah “an imagined political community-and imagined as both inherently limited and sovereign” (sebuah komunitas politik yang dibayangkan- dan dibayangkan baik terbatas sekaligus berdaulat) (1991: 6).
Ya, bangsa adalah imaji, sebab sebagian besar warganya tidak saling tahu. Mereka juga tidak pernah bertemu. Pun demikian, dalam bayangan mereka, ada bayangan sebuah komunitas yang satu.
Sebagai imaji, gagasan tentang bangsa sesungguhnya lebih tepat dimengerti sebagai aspirasi ketimbang deskripsi (Priyono 1999: 176).
Maksudnya, ikatan dan loyalitas warga bangsa bukan hal yang sudah jadi. Tidak juga terbentuk secara alami.
Sebaliknya, integrasi bangsa sangat bergantung dari aspirasi warganya: apakah mereka sungguh-sungguh menerima dan diterima sebagai bagian dari bangsa?
Jika fokus dan sudut pandangnya negara, aksi kekerasan sebagian masyarakat Papua bisa dilihat sebagai separatisme.
Namun, aksi mereka bisa juga dilihat dengan simpatik: mereka meredefinisi arti Indonesia sebagai bangsa. Karena merasa belum diterima sebagai orang Indonesia, mereka menolak kedaulatannya.
Jika dari sudut pandang negara, mereka dianggap tidak cinta bangsa, dari sudut pandang orang Papua, negara yang tidak mencintai mereka. Jadi, dari sudut pandang masing-masing merasa, cintanya bertepuk sebelah tangan.
Kebijakan modernisasi yang dilakukan pemerintah Soeharto untuk Papua menghasilkan kemajuan ekonomi yang impresif. Di tahun 1970, pertumbuhan ekonomi di Papua mencapai 10,92 persen.
Hasrat modernisasi diikuti dengan kebijakan transmigrasi secara massif di papua. Pada 1971, transmigran di Papua berjumlah 5000 jiwa. Lalu di 1972 jumlahnya meningkat 100 persen, menjadi 10.000 jiwa (Garnaut and Manning 1974: 39).
Jumlah transmigran di Papua semakin besar karena migrasi ke Papua juga terjadi secara mandiri.
Orang dari Sulawesi melihat peluang ekonomi terbuka lebar di Papua. Mereka pindah ke sana. Penduduk yang migrasi secara mandiri jumlahnya jauh lebih signifikan.
Untuk setiap transmigran yang ke Papua, ada 3 orang penduduk migrasi mandiri. Sampai tahun 2000, jumlahnya mencapai 560.000 jiwa (McGibbon, 2002).
Mereka membuat pemukiman baru dalam skala luas. Karena dorongan untuk mencari penghidupan yang lebih baik, etos kerja mereka tinggi. Maka, para pendatang ini berhasil mendominasi sektor ekonomi Papua.
OAP merasa terdesak dan termarjinalkan dalam proses pembangunan dan modernisasi yang massif.