JAKARTA, KOMPAS.com - Aturan tentang kewajiban bersertifikasi halal bagi produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Pasal 4 tentang Jaminan Produk Halal.
Namun, saat ini dinilai masih banyak Usaha Mikro Kecil Menangah (UMKM) kuliner di Indonesia yang belum memiliki sertifikat halal. Apa kendalanya?
Baca juga:
Wakil Kepala Badan Pengembangan Ekonomi Syariah Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Angga Adinegoro mengiakan bahwa saat ini masih banyak UMKM di Indonesia yang belum bersertifikasi halal.
Ia menyebut, ada beberapa faktor yang menjadi kendala para UMKM dalam mengurus sertifikat halal.
Baca juga: Respons Malaysia soal Temuan Makanan Halal Mengandung Babi di Indonesia
"Memang, ada beberapa masukan dari pelaku usaha, yang pertama itu dari sisi biaya. Jadi, khususnya untuk UMKM yang tidak masuk self declare, tetapi omzetnya masih belum memadai," kata Angga dalam acara Kumparan Halal Forum 2025 di Jakarta Selatan, Selasa (27/5/2025).
Menurut mereka, sambung Angga, biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat halal terlalu besar.
Di sisi lain, lanjutnya, para pelaku usaha tersebut memang belum diedukasi mengenai dampak dari sertifikat halal.
Kurangnya literasi dan edukasi mengenai sistem jaminan produk halal bagi pelaku UMKM menjadi salah satu kendala masih adanya pelaku UMKM yang belum tersertifikasi halal.Faktor kedua adalah kurangnya literasi dan edukasi mengenai sistem jaminan produk halal bagi pelaku UMKM.
"Contohnya, UMKM yang proses produksinya mungkin di rumah yang kecil, jadi tempat pencucian dan tempat memasak menjadi satu (tempat). Itu kan harus dipisah, nah itu menurut mereka terlalu berlebihan," kata Angga.
Mengingat kurangnya pemahaman pelaku usaha tersebut terhadap sistem jaminan produk halal, hal ini akan menambah biaya bagi mereka untuk memperbarui tata ruang rumah produksi dan sistem produksinya.
Baca juga:
Faktor ketiga, lanjut Angga, yaitu sulitnya mencari bahan baku pengganti yang tersertifikasi halal untuk pengolahan makanan.
"Untuk mencari substitusi bahan-bahan seperti bubuk pemanis, perasa, itu memang banyak yang industri hulunya yang belum bersertifikasi halal," paparnya.
Faktor keempat, yaitu sulitnya mendapatkan akses bagi daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Dengan demikian, dinilai akan meningkatkan biaya, serta membutuhkan proses yang lama untuk melakukan audit.
Baca juga: Benarkah Estimasi Biaya Sertifikasi Halal untuk Restoran Capai Ratusan Juta?
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarangView this post on Instagram
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya