FOUZIEH, seorang ibu tunggal dari anak laki-laki berusia lima tahun. Suaminya telah meninggalkannya dan anaknya setelah Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021. Suaminya sangat takut akan pembalasan.
“Saya dulunya merupakan seorang polisi dan bekerja untuk pasukan keamanan nasional,” kata Fouzieh kepada DW. “Kami tinggal di Kabul saat Taliban datang. Suami saya meninggalkan kami. Saya harus pergi bersembunyi bersama anak laki-laki saya. Kami sudah dalam pelarian selama lebih dari satu tahun, berpindah setiap beberapa bulan dan tinggal dengan kerabat kami.”
Baca juga: Perlakuan Taliban pada Perempuan Jadi Sorotan Pertemuan HAM PBB
Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan, banyak mantan polisi dan tentara menghilang atau dieksekusi karena dianggap sebagai pengkhianat.
Fouzieh kini bekerja sebagai petugas kebersihan, satu-satunya pekerjaan terbaik yang bisa ia temukan, untuk menghidupi keluarganya. Fouzieh juga banyak mengandalkan dukungan dari para kerabatnya. Namun, kerabatnya sendiri sebenarnya juga tak bisa begitu banyak membantu Fouzieh. Perekonomian Afghanistan saat ini sedang berada dalam kehancuran.
Setidaknya 90 persen populasi Afghanistan saat ini hidup dalam kemiskinan, menurut International Rescue Committee.
Lebih dari separuh penduduk – 28,8 juta dari total 40 juta – bertahan hidup dengan bergantung pada bantuan kemanusiaan. Selain itu, sekitar 95 persen penduduk Afghanistan juga dilaporkan tak memiliki cukup makanan.
Jumlah tersebut kian meningkat menjadi hampir 100 persen di rumah tangga yang dikepalai oleh seorang perempuan, menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada awal Taliban mengambil alih, mereka sebenarnya telah berjanji akan menghormati hak-hak perempuan dalam batas-batas syariah. Namun, kenyataannya di lapangan sama sekali tak sesuai dengan janji.
Taliban dengan segera memperkenalkan serangkaian undang-undang baru dan langkah-langkah politik yang justru menghalangi perempuan di seluruh negeri dari bekerja, memperoleh pendidikan, dan bahkan sekedar meninggalkan rumah tanpa mengenakan burka dari ujung kepala hingga ujung kaki atau setidaknya didampingi oleh kerabat laki-laki.
Data PBB menunjukkan bahwa sekitar 1,5 juta anak perempuan atau perempuan muda telah secara sistematis ditolak untuk mendapatkan pendidikan.
Nasib para ibu tunggal jauh lebih sulit lagi, kata seorang reporter Kabul, Azadeh Shirza, salah satu dari sedikit jurnalis perempuan Afghanistan yang masih bekerja di ibu kota. Ia dan beberapa koleganya yang tersisa saat ini sedang berupaya untuk memberikan para perempuan Afghanistan hak suaranya kembali.
“Saya sudah berbicara dengan setidaknya 50 ibu tunggal selama dua tahun terakhir ini,” katanya kepada DW. Di Kabul, “para ibu tunggal masih bisa bekerja secara rahasia – di dapur, di tempat jahit, salon atau pembersih.” Meski begitu, hal akan berbeda bagi para ibu tunggal yang tinggal di kota dan desa yang lebih kecil.
“Ketika semua orang mengenal semua orang, dan Taliban memiliki kendali penuh, bahkan (bekerja secara rahasia) pun tidak mungkin dilakukan. Para wanita bergantung pada belas kasihan kerabat mereka dan harus tunduk dan patuh. Banyak yang diperlakukan buruk dan seringkali dipaksa menikah untuk menjadi istri kedua atau ketiga seseorang.”
Bagi para perempuan di Afghanistan, “semua rencana yang mereka miliki untuk masa depan telah hilang sepenuhnya akibat larangan pendidikan ini,” kata Heather Barr, direktur asosiasi hak-hak perempuan di Human Rights Watch kepada DW.
Para ibu tunggal yang tidak memiliki anak laki-laki atau kerabat laki-laki dewasa yang tinggal bersama dengan mereka hampir tak pernah pergi meninggalkan rumah karena tak memiliki perlindungan jika pergi keluar, ke depan umum.