BEIRUT, KOMPAS.com - Pada Minggu (26/1/2025), situasi gencatan senjata antara Israel dan dua pihak utama—Hizbullah di Lebanon serta Hamas di Gaza—menghadapi tantangan serius.
Dalam insiden terbaru, pasukan Israel melepaskan tembakan ke arah warga Palestina di kedua wilayah, yang mengakibatkan setidaknya 23 korban jiwa dan melukai puluhan lainnya.
Perkembangan ini menyoroti ketegangan yang masih membara meskipun telah ada kesepakatan gencatan senjata.
Baca juga: Kesepakatan Israel-Lebanon Diperpanjang, AS Tak Sebut Gencatan Senjata
Di Lebanon, gencatan senjata yang dicapai antara Israel dan Hizbullah pada November 2024 tampak rapuh.
Kementerian Kesehatan Lebanon melaporkan 22 korban jiwa dan 124 orang terluka akibat aksi kekerasan.
Insiden ini terjadi setelah Israel mengonfirmasi tidak akan memenuhi tenggat waktu penarikan pasukannya dari wilayah Lebanon selatan, yang seharusnya menjadi bagian dari kesepakatan.
Menurut pernyataan Gedung Putih, kesepakatan yang dimediasi oleh Amerika Serikat ini akan berlaku hingga 18 Februari 2025.
Dalam waktu tersebut, negosiasi tambahan tentang pemulangan tahanan Lebanon yang ditangkap setelah 7 Oktober 2023 akan dilakukan.
Namun, Israel menuduh militan Lebanon, termasuk tentara resmi negara itu, tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati.
UNIFIL, pasukan perdamaian PBB di Lebanon, mengeluarkan pernyataan mendesak semua pihak untuk menghindari eskalasi lebih lanjut. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil untuk meredakan ketegangan di perbatasan.
Baca juga: Israel Izinkan Pengungsi Kembali ke Gaza Utara Setelah Perjanjian Gencatan Senjata
Di Gaza, konflik seputar pembebasan seorang sandera perempuan warga Israel, Arbel Yehoud, menjadi pemicu utama ketegangan.
Israel menunda penarikan pasukannya dari koridor Netzarim, wilayah strategis yang membagi Gaza, hingga Yehoud dibebaskan oleh Hamas.
Menurut perjanjian gencatan senjata, Hamas seharusnya membebaskan sandera tersebut pada Sabtu (25/1/2025).
Qatar, yang bertindak sebagai mediator, mengumumkan pada Senin (27/1/2025) bahwa kesepakatan telah tercapai.
Berdasarkan pernyataan Qatar, Hamas setuju untuk membebaskan Yehoud bersama dua sandera lainnya sebelum Jumat (31/1/2025).