KOMPAS.com – Krisis iklim berkontribusi terhadap banjir bandang di Pakistan Utara pada Agustus 2025, menewaskan ratusan orang dan merusak lebih banyak rumah, infrastruktur, serta mata pencaharian dibanding banjir bandang 2022.
Pakistan termasuk 10 negara paling rentan terhadap perubahan iklim, meski hanya menyumbang kurang dari 1 persen emisi global.
Menurut ahli ekologi Karachi, Rafi-ul-Haq, banjir kini menjadi bencana rutin setiap musim hujan.
"Banjir bukan lagi bencana langka di Pakistan. Menyebutnya sebagai 'kenormalan baru' bukanlah sesuatu yang berlebihan," ujar Haq, dikutip dari Anadolu Agency.
Wilayah barat laut Khyber Pakhtunkhwa terdampak paling parah, dengan sungai meluap, longsor, dan rumah runtuh yang mengubur keluarga.
Sejak akhir Juni 2025, hampir 800 orang tewas akibat banjir dan longsor.
Haq menambahkan, krisis iklim, pemanasan global, serta mencairnya gletser memperkuat intensitas hujan, sementara urbanisasi tak terencana, deforestasi, penyumbatan saluran air, dan lemahnya tata kelola menyumbang hingga 60 persen kerusakan.
Senada, pakar manajemen banjir Islamabad, Ahmed Kamal, menilai banjir kini menjadi “kondisi normal baru” akibat pergeseran pola musim hujan dan meningkatnya curah hujan.
Di Gilgit-Baltistan, gletser mencair cepat, memicu banjir luapan danau gletser. Distrik Chilas bahkan mencatat suhu ekstrem 49 derajat C pada Mei lalu.
"Gletser kami mencair sangat cepat, sementara musim dingin menyusut. Curah salju hampir 50 persen di bawah rata-rata tahun lalu," kata Kamal.
Baca juga: Ancaman Perubahan Iklim, Hutan Paling Beragam di Dunia Tak Mampu Adaptasi
Ancaman siklon juga meningkat sejak 2007, dipicu kenaikan suhu Laut Arab. Di saat sama, deforestasi puluhan tahun demi lahan pertanian dan perumahan telah menghilangkan penyangga banjir alami.
"Hal ini telah melipatgandakan frekuensi dan intensitas banjir," lanjutnya.
Awal 2025, Menteri Perubahan Iklim Pakistan, Musadiq Malik, memperingatkan dampak mencairnya gletser pada jaringan sungai dan kanal yang bisa membawa konsekuensi bencana bagi ekonomi pertanian, yang menyumbang sekitar 24 persen PDB.
Banjir bandang menghancurkan infrastruktur dan lahan, membuat petani menanggung kerugian tanpa jaminan. Petani Balochistan, Muhammad Hashim, menggambarkan bertani sebagai perjudian dengan alam.
"Sepuluh tahun yang lalu, kami terpaksa meninggalkan tanah leluhur dan bermigrasi untuk mencari penghidupan. Lalu datanglah banjir dahsyat tahun 2022. Semua yang telah kami bangun kembali hanyut. Ladang kami hancur lagi. Tahun berikutnya, kami pindah lagi. Untuk sesaat, kami menemukan kedamaian," ujarnya kepada Al Jazeera.
Hashim mengaku tetap bertani meski berkali-kali menyaksikan tanaman gagal panen akibat banjir dan kekeringan.
Baca juga: Pariwisata Jadi Kontributor Pertumbuhan Ekonomi tapi Rentah Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya