JAKARTA, KOMPAS.com - Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih dialami para pekerja di perkebunan kelapa sawit.
Advokat Wahyu Wagiman membeberkan, setiap tahunnya organisasi non pemerintah seperti Sawit Watch, WALHI, Greenpeace, maupun Amnesty International melaporkan berbagai dampak dari operasional kelapa sawit.
Terutama, bagi masyarakat yang berada di sekitar wilayah perkebunan di mana banyak terjadi penggusuran lahan dan pembukaan lahan tanpa izin.
"Ada kriminalisasi petani dan masyarakat yang menentang beroperasinya perkebunan kelapa sawit. Ada banyak juga intimidasi yang sering kali dilakukan oleh perusahaan yang kontra terhadap sikap masyarakat," ujar Wahyu dalam webinar yang digelar Visi Integritas dan MSW Law Office, Selasa (2/9/2025).
Baca juga: Menteri LH Kritik Ekspansi Lahan Sawit yang Hilangkan Keanekaragaman Hayati
Kondisi tersebut tak terjadi secara tiba-tiba, melainkan telah mengakar karena kurangnya informasi yang didapatkan masyarakat.
Wahyu menilai, pembukaan lahan perkebunan baru harus transparan dan mudah diakses untuk mencegah pelanggaran. Di samping itu, banyak pula pelanggaran terhadap hak pekerja kelapa sawit.
"Kondisi kerja yang buruk, jam kerja yang panjang, target kerja yang berat, upah yang rata-rata di bawah UMR. Banyak juga disebutkan ketelibatan anak-anak bahkan istri," papar Wahyu.
"Mereka tidak masuk dalam kontrak kerja, tetapi di dalam keseharian area banyak membantu, banyak mendukung suami atau istrinya yang bekerja di kebun," imbuh dia.
Keluarga dilibatkan dalam proses panen, pemeliharaan, hingga pembukaan lahan. Sebagian besar perusahaan sawit pun tidak memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Padahal, potensi kecelakaan kerja, keracunan akibat menghirup obat-obat untuk sawit banyak terjadi di hampir semua wilayah.
"Di empat pulau besar di Indonesia banyak disebutkan, banyak dilaporkan mengenai rendahnya keselamatan kesehatan kerja untuk para pekerja di perkebunan sawit," tutur dia.
Terakhir, pelanggaran kesehatan dan lingkungan. Wahyu mencatat, hampir semua lembaga negara mengakui dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla), deforestasi, dan buruknya pengolahan limbah operasional kelapa sawit.
Baca juga: Perambahan Ilegal, 500 Hektare Lahan Mangrove di Aceh Dibuka untuk Sawit
"Ada ketidak hati-hatian yang mungkin dilakukan oleh karyawannya atau bahkan oleh perusahaan itu sendiri. Sehingga terjadi kebakaran hutan, pencepatan lingkungan, deforestasi," papar dia.
Menurut Wahyu, perusahaan harus merespons isu pelanggaran HAM, pelanggaran pekerja, lingkungan dan kesehatan di wilayah operasinya. Dengan begitu, perusahaan dapat meningkatkan performa sekaligus bertahan dalam jangka waktu yang lama.
"Yang tidak bisa dilupakan adalah menegaskan dan menginternalisasi praktik bisnis yang berkelanjutan. Karena kita juga tahu hampir sebagian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia itu anggota RSPO dan anggota ISPO," sebut dia.
RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) memiliki standar bisnis berkelanjutan.
Skema RSPO bertujuan meningkatkan performa perusahaan untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktik yang dianggap sebagai pelanggaran HAM.
Selain itu, perusahaan harus merujuk pada standar norma dan pengaturan bisnis dan HAM, serta aturan Komisi Nasional HAM.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya