EUFORIA produksi batu bara Indonesia tampaknya telah usai. Penurunan permintaan global dan tekanan harga hingga paruh pertama 2025, menjadi sinyal kuat bagi pemerintah dan industri untuk segera bertransformasi.
Selama tiga tahun berturut-turut, produksi batu bara Indonesia mencapai level tertinggi. Tahun lalu, produksi batu bara mencapai 836 juta ton, naik sebesar 48 persen produksi tahun 2020.
Peningkatan produksi ini didorong lonjakan permintaan dan harga batu bara akibat krisis energi.
Pemerintah juga turut mendorong ekspansi produksi dengan memberikan kelonggaran perizinan melalui perubahan persetujuan RKAB yang menjadi tiga tahun.
Total rencana produksi yang disetujui tahun ini mencapai 917 juta ton, padahal target produksi nasional hanya 739,67 juta ton.
Baca juga: Politik Ekonomi Batu Bara: Berkah Fiskal Sesaat, Beban Transisi Energi Jangka Panjang
Selain itu, pemerintah juga menerapkan tarif royalti progresif dan penahanan dana hasil ekspor guna meningkatkan pendapatan negara dari komoditas emas hitam ini.
Namun, sebetulnya pendekatan ini cukup berisiko. Alih-alih menggunakan penerimaan dari batu bara untuk memulai transformasi ekonomi, pemerintah malah mengandalkan peningkatan pendapatan negara pada komoditas yang mulai ditinggalkan ini.
Ekspansi yang tidak terkontrol ini dapat menyebabkan produksi berlebih yang berdampak ke permintaan dan harga pasar. Dan berita buruknya, dampak negatif ini sudah mulai terlihat di pada 2025 ini.
Pada paruh pertama tahun 2025, produksi batu bara turun 33 juta ton atau 8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Permintaan batu bara domestik maupun ekspor keduanya mengalami penurunan.
Nilai ekspor batu bara termal bahkan turun lebih dari 21 persen atau sekitar 3,7 miliar dollar AS dibandingkan tahun lalu.
China dan India, dua importir terbesar batu bara Indonesia, memangkas impor masing-masing sebesar 20,9 juta ton dan 5,7 juta ton.
Penurunan impor ini kemungkinan akan berlanjut karena dua negara ini membangun pembangkit energi terbarukan secara agresif serta menjaga pasokan batu bara domestik guna menurunkan impor energi.
Tren penurunan batu bara ini memberikan dampak negatif bagi industri dan pemerintah. Di saat biaya produksi dan setoran ke pemerintah terus meningkat, tekanan harga dan penurunan permintaan akan semakin menggerus margin keuntungan perusahaan-perusahaan batu bara.
Bagi pemerintah, tren ini akan menghambat pencapaian target penerimaan negara dari sektor minerba.
Selain berdampak ke pasar, ekspansi batu bara dalam beberapa tahun terakhir juga meningkatkan emisi metana dari tambang batu bara atau coal mine methane (CMM).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya