KOMPAS.com - Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq memperkirakan, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari sektor energi di Indonesia masih mengalami peningkatan hingga tahun 2035.
Perkiraan tersebut berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup (LH) yang dilaporkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2019, yang menyebut Indonesia menghasilkan emisi GRK sebanyak 1,145 juta ton CO2.
"Maka, sektor energi masih meningkat emisinya. Jadi Bapak enggak usah sombong, (upaya sektor pertambangan) ini akan menurunkan emisinya, enggak, Pak. Data kami bicara bahwa sampai tahun 2035 toh, sektor energi ini emisinya masih tinggi, bahkan tidak turun," ujar Hanif dalam MINDialogue, Kamis (28/8/2025).
Padahal, Keputusan 1/CMA.5 dalam Pertemuan Resmi Para Pihak Perjanjian Paris meminta semua negara termasuk Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca di angkat 42,10 persen pada 2035 dan 60 persen pada tahun 2045.
Strategi jangka panjang dalam skenario Kementerian LH sebenarnya memproyeksikan puncak peningkatan emisi GRK yang dihasilkan sektor energi terjadi pada 2030.
"Jadi, perlu upaya keras kita untuk kemudian membicarakan ulang nanti dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di angka 8,3 persen," tutur Hanif.
Dengan skenario tersebut, kata dia, sektor kehutahan diwajibkan menurunkan emisi GRK hampir 300 juta ton CO2. Ironisnya, sektor kehutanan saat ini masih menghasilkan emisi GRK.
"Hari ini saja sektor kehutanan masih plus. Hari ini sektor kehutanan belum ada tanda-tanda melampaui batas nol. Di (tahun) 2035, itu sudah skenario paling dramatis yang kita lakukan,"ucapnya.
Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan di sektor energi untuk bersama-sama mengakselerasi penurunan emisi GRK.
Menurut Hanif, sektor energi perlu mengadopsi prinsip-prinsip dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, terutama perekonomian berlandaskan wawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Baca juga: Jadi Champion Energi Bersih, India dan China Tetap Dominasi Proyek PLTU Baru
Di sisi lain, Hanif mengaku kewalahan mengawasi dampak lingkungan dari jutaan unit usaha yang beroperasi di seluruh Indonesia. Ini mengingat jumlah pengawas lingkungan masih sangat terbatas dibandingkan skala masalah yang harus ditangani.
Hingga Kamis (28/8/2025), hanya ada 1.100 pengawas lingkungan di Kementerian Lingkungan Hidup dan jajarannya sampai di tingkat kabupaten/kota. Bahkan, jumlah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) bidang lingkungan hidup hanya sekitar 250 orang di seluruh Indonesia.
"Tanpa kami membangun kedidayaaan di mereka, apa yang kami lakukan tidak berdampak apapun terhadap kualitas lingkungan kita," ujar Hanif.
Ia berupaya mengatasi keterbatasan jumlah pengawas lingkungan dengan pendekatan pembinaan dan dialog bersama pelaku usaha.
"Ke depan, Pak Direktur MIND ID, Pak Ma'ruf, izin, bilamana diperkenankan, maka untuk mengurangi pengawasan kami dengan teknologi yang belum kami miliki dengan sangat sempurna. Kami berharap bisa menyusun dialog-dialog ini pada level teknis untuk mengurangi atau melakukan peningkatan pengendalian kualitas lingkungan kita," tutur Hanif.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya