JAKARTA, KOMPAS com - Masyarakat Adat Enggros, Jayapura, Papua, mulai membudidayakan ikan nila salin di Teluk Youtefa. Anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jayapura, Petronela Meraudje, mengatakan perubahan iklim menyebabkan hasil tangkapan ikan laut berkurang.
Sehingga, mereka memutar otak untuk membudidaya nila di keramba yang ditempatkan di lautan.
“Kami kaget juga, ternyata ikan nila bisa hidup di laut. Dulu, kami hanya tahu nila ada di danau atau kolam, tetapi karena perubahan iklim ikan di laut makin susah didapat jadi masyarakat adat mencoba cara baru ini ternyata berhasil,” ujar Petronela dalam keterangannya, Selasa (2/9/2025).
Berdasarkan uji coba, ikan nila yang berada di keramba tumbuh dengan baik dan bisa menjadi alternatif penghasilan baru masyarakat setempat. Petronela menilai, upaya ini sekaligus menunjukkan bagaimana kearifan lokal berpadu dengan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Baca juga: Tahan Panas, Sapi Merah Putih Peluang Baru di Tengah Krisis Iklim
“Jika berhasil dikembangkan, budidaya nila di laut bisa menjadi model inovasi pangan bagi masyarakat adat pesisir lainnya yang terdampak perubahan iklim,” jelas dia.
Nila salin terbukti mampu hidup dalam air dengan kadar garam yang tinggi, memungkinkannya tetap bernapas di lingkungan dengan perbedaan salinitas ekstrem.
Sementara itu, Tokoh Masyarakat Adat Enggros, Seppy Hanasbey, menyatakan sebagian besar masyarakat telah membudidayakan ikan nila sebagai sumber penghasilan mereka. Hal ini dilakukan lantaran perubahan siklus air asin dan air payau di Teluk Youtefa telah meluas.
Baca juga: Perempuan, Masyarakat Adat, dan Pemuda Jadi Bagian dari Iklim
“Sekarang sudah banyak yang memelihara ikan nila, dulu tidak ada. Bagus juga untuk keberlanjutan ekonomi,” ucap Seppy.
Sebagai informasi, Teluk Youtefa merupakan kawasan konservasi dengan ekosistem mangrove. Masyarakat Adat Enggros dikenal sebagai penjaga hutan mangrove di area tersebut.
Diberitakan sebelumnya, Head of Communication UNDP Indonesia, Nabila Rahmani, menyebutkan bahwa perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan pemuda berperan dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Dia mengatakan, kelompok tersebut sering kali digambarkan sebagai orang-orang yang paling terdampak krisis iklim. Namun, tidak dilihat sebagai orang yang memiliki pengetahuan terkait iklim.
"Padahal perempuan, masyarakat adat, anak muda, juga sebuah solusi dari dampak perubahan iklim. Jadi, they're actually actors and they're not beneficiaries," ungkap Nabila, Sabtu (17/5/2025).
Karenanya, dia mendorong agar kelompok itu dilibatkan pada pengambilan keputusan di tingkat lokal, nasional, maupun global.
"Hal ini yang sebetulnya selaras dengan komitmen global, dari Perjanjian Paris, SDG's di mana kesetaraan gender atau partisipasi dari perempuan dan masyarakat adat juga penting dalam aksi iklim," tutur dia.
Tradisi mane'e di Sulawesi Utara, misalnya, yang mewajibkan masyarakat mengambil ikan bersama di laut agar mengurangi konsumsi berlebihan. Mereka memakai jaring dari kelapa yang lebih aman dan tidak merusak ekosistem laut.
Baca juga: Pengesahan RUU Masyarakat Adat, Jalan Pulang Menuju Pertanian Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya