KALIMANTAN TENGAH, KOMPAS.com – Di Desa Buhut Jaya, Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, sebuah peternakan ayam petelur berdiri sederhana di tengah hutan tropis.
Bukan milik perusahaan besar, melainkan dikelola seorang anak muda penyandang disabilitas bernama Andika (21).
Andika, yang memiliki keterbatasan pendengaran, mulai merintis usahanya sejak Februari 2024, tak lama setelah lulus dari SMK Maharati.
Ia tidak sendiri. Sang ibu setia mendampinginya, sementara lahan seperempat hektar milik sang ayah menjadi tempat berdirinya kandang ayam petelur pertama di desa itu.
Baca juga: Helm Saya Tuli untuk Disabilitas Tunarungu di Riau...
Awalnya, Andika mendatangkan 500 ekor ayam dari luar Kabupaten Kapuas. Perjalanan panjang dengan medan berat membuat sebagian ayam tidak bertahan hidup. Namun, dari situ Andika belajar bahwa beternak membutuhkan kesabaran dan strategi.
“Karena kelelahan, ayam petelur itu malam masuk ke kandang masih belum sempurna makan,” tutur ayahnya, Adiria Santoso, saat ditemui di Desa Buhut Jaya, Kamis (2/10/2025).
Hasil kerja keras Andika mulai terlihat. Produksi telur yang semula hanya sekitar 150 butir per hari (5 rak), kini meningkat menjadi 360 butir (12 rak) setiap harinya. Sebagian dijual ke tetangga dengan harga Rp 2.000 per butir, sementara sisanya dipasarkan melalui koperasi di bawah naungan PAMA Group.
Tak hanya membantu dari sisi distribusi, PAMA Group juga memberikan modal melalui program corporate social responsibility (CSR) agar Andika dapat mengembangkan peternakannya.
“Orang kampung itu paling banyak beli dua rak. Kalau hanya mengandalkan jual ke kampung, sulit untuk menutup biaya pakan,” ujar Adiria.
Baca juga: Kisah Perjuangan Rahma Raih Cumlaude di UMP: Disabilitas Bukan Penghalang Mimpi
Kendala lain yang kerap dihadapi adalah keterbatasan pakan. Untuk mengatasinya, Andika berinisiatif mencampur pakan dengan dedak. Pada malam hari, ia kerap berjaga memastikan kebutuhan ayam tercukupi sekaligus melindungi pakan dari burung punai liar yang sering mencuri.
Perjalanan pendidikan Andika tidak mulus. Ia sempat putus sekolah selama dua tahun. Kesempatan datang kembali ketika SMK Maharati, yang dikelola Yayasan Bina Harati Pama, berdiri di Kapuas.
Meski usianya sudah tidak muda untuk ukuran murid baru, Andika diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan.
“Untung-untungan pas SMK Maharati mulai angkatan pertama. Kalau betul-betul diseleksi, mungkin dia enggak masuk. Tapi Andika diutamakan,” ujar Adiria.
Di sekolah, para guru berusaha menciptakan pembelajaran inklusif meski SMK Maharati bukan sekolah inklusi resmi. Guru bimbingan konseling dan pembina asrama dengan latar belakang psikologi ikut mendampingi Andika agar mampu mengikuti pelajaran.
Upaya itu berbuah manis. Andika mampu menghasilkan proyek desain komunikasi visual (DKV) dan lulus uji kompetensi. Namun, ketika diberikan pilihan peminatan, ia lebih mantap memilih jalur wirausaha.
Baca juga: Produksi Telur Ayam RI Surplus, Siap Ekspor 1,6 Juta Butir ke AS Per Bulan
“Kami mendukung penuh agar Andika termotivasi. Walaupun wirausaha, dia bisa sukses. Yayasan, komunitas, hingga teman-teman ikut memberi pendampingan dan modal agar ia bisa memulai usaha,” jelas Kepala Sekolah SMK Maharati, Aris Dianto.
Meski kini sibuk mengurus peternakan, Andika masih menyimpan mimpi besar. Ia ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi untuk memperdalam ilmu peternakan. Namun, keinginan itu belum mendapat restu penuh dari sang ayah yang khawatir soal biaya.
Bagi Andika, beternak bukan hanya soal ekonomi. Ia menemukan kegembiraan dalam merawat ayam-ayamnya, menyusun pakan, hingga memungut telur setiap pagi.
Dari lahan sederhana di pedalaman Kalimantan, Andika membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya