KOMPAS.com - Sistem produksi dan konsumsi pangan saat ini bertanggung jawab atas kurang lebih 30 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca global.
Kabar baiknya, emisi tersebut dapat dikurangi hingga lebih dari 50 persen apabila sistem pangan bertransformasi menjadi lebih berkelanjutan.
Temuan ini merupakan kesimpulan dari laporan yang diterbitkan pada tanggal 3 Oktober oleh komisi ahli internasional yang anggotanya berasal dari lebih dari 35 negara di enam benua.
Riset tersebut menunjukkan bahwa sistem pangan menjadi faktor utama yang paling banyak memberikan dampak negatif pada lima dari sembilan "batas planet" yaitu proses global krusial yang menentukan seberapa stabil dan tangguh Bumi ini dalam menghadapi perubahan.
Melansir Phys, Minggu (12/10/2025) penelitian ini juga menemukan bahwa lebih dari separuh populasi dunia kesulitan mengakses makanan yang sehat, dan perubahan pola makan dapat mencegah hingga 15 juta kematian dini per tahun.
Baca juga: Negara Maju Lebih Banyak Buang Makanan, Tapi Ada Peningkatan di Negara Berkembang
Sementara itu, 30 persen populasi terkaya di dunia menjadi pendorong lebih dari 70 persen dampak lingkungan terkait pangan. Walaupun sebenarnya terdapat cukup makanan untuk memberi makan seluruh dunia, lebih dari 1 miliar orang masih menderita kekurangan gizi.
Laporan ini mengusulkan delapan langkah strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Solusi-solusi tersebut termasuk meminimalkan makanan yang terbuang, menerapkan metode pertanian yang berkelanjutan, melestarikan pola makan sehat yang diwariskan secara tradisional, dan menghentikan pengubahan ekosistem alami yang masih utuh menjadi lahan pertanian.
Dalam studinya, Mario Herrero, profesor pembangunan global di College of Agriculture and Life Sciences (CALS) bersama timnya melakukan pemodelan serangkaian skenario.
Tujuan pemodelan ini adalah untuk mengevaluasi bagaimana sistem pangan, baik yang ada saat ini maupun di masa depan, akan memengaruhi kesembilan "batas planet" yang mengatur stabilitas Bumi.
Daniel Mason-D'Croz, rekan peneliti senior CALS sekaligus kepala tim pemodelan, menyatakan bahwa hasil pemodelan mereka mengindikasikan bahwa dengan mengubah sistem pangan, tekanan lingkungan pada seluruh "batas planet" yang disebabkan oleh pangan akan berkurang secara signifikan.
Kendati demikian Daniel Mason-D'Croz menjelaskan perubahan pola makan saja tidak cukup.
Baca juga: Iradiasi Pangan Jadi Solusi Tekan Risiko Kontaminasi pada Makanan
Menurutnya, jika tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas pertanian dan pengurangan makanan yang terbuang, kita tidak akan mampu menciptakan sistem pangan yang benar-benar berkelanjutan bagi lingkungan.
"Langkah selanjutnya harus berpusat pada perumusan roadmaps yang detail untuk mewujudkan masa depan yang lebih lestari," katanya.
Lebih lanjut, laporan tersebut menunjukkan bahwa perubahan pada cara manusia memproduksi dan mengonsumsi makanan dapat meningkatkan kesehatan global, mencapai ketahanan pangan dan gizi, membangun stabilitas dan ketahanan, serta berkontribusi pada strategi penting untuk meningkatkan kesetaraan dan kondisi kerja dalam sistem pangan pada tahun 2050.
"Penelitian ini menyajikan temuan yang sangat penting yang memfasilitasi para pengambil keputusan untuk membuat kebijakan yang berdasar data yang kuat. Selain itu, riset ini juga memungkinkan setiap individu untuk memahami konsekuensi dari pilihan diet mereka terhadap sistem pangan global," tambah Patrick Beary dari Cornell Atkinson Center for Sustainability.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya