KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - Kisah inspiratif datang dari seorang petani asal Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Namanya Alexius Atep, sosok yang berhasil mengubah lahan pertaniannya menjadi lebih produktif sekaligus ramah lingkungan.
Berawal dari kebiasaan memanfaatkan batang kayu, kini Alexius mampu mengolah hampir semua tumbuhan di lahannya, termasuk rumput dan bahan organik lainnya, menjadi pupuk dan pestisida alami.
"Sekarang rupanya bukan batang kayu lagi yang bisa bermanfaat. Tetapi seperti rumput ini juga. Ini kalau dipotong pendek, ditumpuk, jadi kompos, jadi pupuk. Nah, dulu orang tuh kalau tanpa kayu kurang bisa hidup. Sekarang tanpa kayu orang bisa lebih sejahtera," ujar Alexius kepada Kompas.com, Sabtu (25/10/2025).
Awalnya, Alexius menanam tebu untuk dijual ke para penjual es tebu di Ketapang. Namun, seiring waktu, ia mulai mengembangkan tanaman hortikultura seperti cabai, kangkung, dan sayur-mayur lainnya. Di sela pohon karet dan rotan, ia menerapkan sistem agroforestri dan menggunakan pupuk serta pestisida organik hasil olahannya sendiri, pengetahuan yang ia peroleh dari sekolah lapang Tropenbos Indonesia sejak 2022.
Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar
"Saya mengandalkan organik. Semua pembeli sayuran yang saya jual tidak pernah merasakan rematik atau (penyakit) ini itu. Karena berkat tanaman semuanya dari organik, efek daripada asam urat dan sendi tidak ada," tutur Alexius.
Pupuk organik buatannya berasal dari bahan alami yang mudah didapat, seperti rebung, pepaya, nanas, tempe, dan kedelai yang sudah membusuk. Sementara pestisida organik dibuat dari daun-daunan tertentu yang diolah menjadi cairan pembasmi hama.
"Daun itu racun hama, Sungkai. (Selain Sungkai bisa) dengan mengkudu, dengan daun pepaya, dengan jengkol, terus ada lagi yang daun ini yang bulat-bulat nih," ucapnya.
Keberhasilan Alexius tak berhenti di lahan sendiri. Ia kini aktif membagikan ilmu dan pengalamannya kepada petani di tiga desa di dua kecamatan. Dedikasinya terhadap pertanian berkelanjutan membuatnya terpilih sebagai finalis Kompetisi Usaha Rakyat Ramah Iklim (KURRI) tingkat Kabupaten Ketapang.
Menurut Alexius, juri KURRI menilai peserta berdasarkan inovasi, konsistensi, serta keselarasan antara teori dan praktik dalam penerapan pertanian berkelanjutan.
"Ternyata dari 25 orang itu, saya sendiri yang levelnya agak di atas kawan di sini (peserta sekolah lapang di Desa Mekar Raya). Maka, saya daftar sebagai peserta lomba KURRI. Ya, alhamdulillah saya dapat juara finalis," ujar Alexius.
Baca juga: Bertemu Prabowo, Menhut Akan Lakukan Hilirisasi Agroforestri
Alexius Atep (bapak berkacamata) mengikuti sekolah lapang Tropenbos Indonesia di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, pada Sabtu (25/10/2025).Program sekolah lapang Tropenbos Indonesia menjadi kunci keberhasilan banyak petani di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) seperti Simpang Dua. Program ini berfokus pada peningkatan kapasitas petani agar tidak lagi “asal tanam”, melainkan memahami teknik budi daya yang mampu meningkatkan hasil panen.
Sekolah lapang menekankan 70 persen praktik langsung di lapangan dan hanya 30 persen teori. Pendekatan ini terbukti lebih efektif karena petani belajar dengan melihat dan mencoba langsung, bukan sekadar mendengar.
Salah satu hasil nyata dari program ini adalah penerapan agroforestri pada tanaman karet dan kopi. Petani diajarkan mulai dari teknik penyadapan yang benar, jarak tanam ideal, hingga pembuatan pupuk dan pestisida organik yang meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga lingkungan.
Proses belajar di sekolah lapang dirancang agar mudah dipahami. Fasilitator menggunakan bahasa lokal, menghindari istilah teknis yang rumit, dan menyesuaikan materi dengan kondisi nyata di lapangan.
Program ini berlangsung selama tujuh bulan, dengan pertemuan dua minggu sekali. Setiap sesi diawali dengan pengantar singkat, dilanjutkan pengamatan langsung di lapangan. Petani diminta mengidentifikasi masalah tanaman, mendiskusikan solusi, menggambar hasil pengamatan, dan menganalisisnya.
Setelah itu, hasil diskusi dipresentasikan untuk mendapat masukan dari fasilitator.
"Pembuatan bahan-bahan untuk pestisida nabati itu saya bertumpu pada yang ada di sini. Jadi, tidak yang dari luar. Saya selalu mengatakan, semua tanaman yang daunnya atau buahnya atau batangnya atau akarnya pahit, pasti bisa untuk menjadi bahan pestisida nabati (pestisida alami atau organik)," tutur fasilitator sekolah lapang Tropenbos Indonesia, Sukardi.
Menurut Sukardi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia mulai marak seiring dengan ekspansi sawit. Melalui sekolah lapang, ia berupaya mengalihkan kebiasaan itu ke sistem pertanian organik yang lebih ramah lingkungan dan memanfaatkan potensi lokal.
Ia berharap petani semakin mandiri menciptakan pupuk organik dari limbah pertanian dan rumah tangga, sekaligus menjaga kesehatan tanah dan keberlanjutan hidup di desa.
Baca juga: Agroforestri Efektif Jaga Biodiversitas Hutan Tropis, Gambut, Pesisir
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya