KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - "Aku pernah kirim karet satu pikap tapi karetnya dipulangkan pabrik. Gara-gara isinya batu," ujar Sulaiman mengawali ceritanya tentang suka duka sebagai tengkulak karet di tingkat desa.
Ia mulai membeli getah karet sejak tahun 2002, dengan harga di tingkat petani sebesar Rp 24.000/kg. Karena tidak teliti, Sulaiman kerap mengalami pengalaman pahit membeli getah karet yang sudah tercampur batu, celana, rumah rayap, sampai tatal.
"Aku menengok dengan mata kepalaku sendiri di pabrik. Dia bawa getah karet. Dipotong tengahnya sama orang pabrik. Ini tanah bekas rayap itu. Kalau orang sini bilang, berudubut. Ditaruhnya di sudut sini, di sudut sini, sudut-sudut sini," tutur Sulaiman kepada Kompas.com, Minggu (26/10/2025).
Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar
Ia juga kerap menemukan getah karet yang direndam dalam air supaya beratnya bertambah dan harganya mahal. Pun, dia sering merugi akibat fluktuasi harga karet yang tidak dapat diprediksi. Khususnya, disebabkan oleh ketidakpastian harga yang diperolehnya dari tengkulak di tingkat kecamatan.
Ia mengaku kesulitan mendapatkan informasi harga karet yang akurat dan transparan.
Ia berhenti membeli getah karet dari petani pada 2016. Ia enggan membeli getah karet karena harganya anjlok hingga Rp 2.000/kg. Selain itu, Sulaiman merugi akibat mengutangi banyak petani.
Sebagai tengkulak desa, Sulaiman biasanya menghutangi petani dalam bentuk uang dan sembilan bahan pokok, yang nantinya dibayar dengan getah karet.
Namun, ternyata para petani yang terikat hutang dengannya malah membagi separuh hasil getah karetnya untuk dijual ke tengkulak desa lainnya.
"Saya pikir makin lama, makin tekor. Ya, akhirnya berhenti saja," ucapnya.
Setelah mengikuti sekolah lapang Tropenbos Indonesia pada 2023, Sulaiman baru tahu standar kualitas yang ditetapkan oleh pabrik dan bagaimana cara menghasilkan getah karet yang berkualitas.
"Baru sadar kadar karet kering (KKK) yang diperlukan untuk menentukan harga, dan bukan kandungan air dan kotoran yang memperberat karet. Ternyata dijadikan bakwan itu cara produksinya. Maksudnya, dikumpulkan dulu karetnya, kemudian dicetak," ujar Sulaiman.
Kini, Sulaiman menjadi Ketua Umum Koperasi Juring Raya Sejahtera (JRS) yang berdiri pada 2024 lalu. Pembentukan Koperasi JRS dilatarbelakangi beberapa faktor.
Pertama, adanya praktik tengkulak yang merugikan di tingkat desa, kecamatan, dan provinsi. Kedua, jarak tempuh yang jauh dari kebun karet ke pabrik pengelolahan getah. Ketiga, cara petani membuat bahan olahan karet (bokar) yang kurang bagus.
Koperasi JRS sudah mengantongi legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM serta memiliki 121 anggota dari empat desa di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Yaitu, Desa Mekar Raya, Desa Kamora, Desa Batu Daya, dan Desa Gema.
Petani melalui Koperasi JRS bisa memperoleh harga karet lebih baik dengan menjual secara langsung ke pabrik pengelolaan karet, PT Bintang Borneo Persada.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya