KOMPAS.com - Indonesia telah menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) pada Senin (27/10/2025).
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, dokumen komitmen iklim terbaru Indonesia ini hanya memperbarui metode pengukuran emisi gas rumah kaca (GRK), tanpa menghadirkan terobosan aksi mitigasi yang mampu memberi dampak signifikan.
Menurut IESR, SNDC masih mempertahankan pola lama, seperti mengandalkan penyerapan dari sektor hutan dan lahan (Forestry and Other Land Use / FOLU) sebagai strategi utama mitigasi, menunda puncak emisi sektor energi, serta menempatkan target yang relatif mudah dicapai karena berada di atas kemampuan kebijakan saat ini.
SNDC juga dinilai belum mencerminkan ambisi Presiden Indonesia untuk mencapai 100 persen energi terbarukan dalam waktu 10 tahun. Padahal, ambisi Prabowo untuk membangun 100 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di desa-desa berpotensi menjadi kontributor besar dalam penurunan emisi GRK.
Chief Executive Officer IESR, Fabby Tumiwa, menilai penundaan puncak emisi GRK dari tahun 2030 menjadi 2035 seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah berani melaksanakan transisi energi sesuai visinya.
“Dengan potensi 3.800 GW energi terbarukan, dan biaya investasi PLTS, PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu) dan baterai (battery) yang semakin menurun, pemanfaatan yang lebih besar akan membuat biaya produksi tenaga listrik jauh lebih murah dan emisi lebih rendah,” tutur Fabby dalam keterangan tertulis.
Fabby menjelaskan, PLTS dan Battery Energy Storage System (BESS) kini mampu menghasilkan harga listrik yang lebih kompetitif dibandingkan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Penurunan harga energi terbarukan ini seharusnya menjadi pendorong utama transisi energi nasional.
Dengan kondisi energi terbarukan yang semakin kompetitif, lanjutnya, mempertahankan PLTU tua yang sudah bisa dipensiunkan justru akan membuat Indonesia kehilangan peluang memperoleh listrik berbiaya murah.
Fabby juga menyesalkan pendekatan ekonomi dalam model SNDC yang justru melihat aksi iklim ambisius sebagai hambatan bagi pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini, kata dia, bertolak belakang dengan hasil pemodelan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) oleh Bappenas, yang menunjukkan bahwa aksi iklim yang kuat justru menjadi prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Baca juga: IESR: Harga Listrik akan Mahal jika Pemerintah Pertahankan PLTG
“Transisi energi yang membutuhkan investasi USD 40-50 miliar setiap tahun, yang jika dilakukan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,” ujar Fabby.
Diketahui, SNDC tidak lagi menggunakan persentase proyeksi penurunan GRK di bawah skenario business as usual. Sebaliknya, dokumen ini memakai jumlah absolut emisi GRK pada 2035 dengan tahun referensi 2019. Ada tiga skenario penghitungan emisi GRK, namun dalam dua skenario bersyarat (conditional), total emisi GRK Indonesia justru diproyeksikan meningkat hingga 2030 dibandingkan tahun 2019.
Target bersyarat itu membidik pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Dalam skenario tersebut, setelah memperhitungkan penyerapan dari sektor FOLU, emisi GRK diperkirakan mencapai 1.489 juta ton setara karbon dioksida (CO?e) pada 2035. Jika tanpa memperhitungkan FOLU, total emisi GRK bisa meningkat hingga 1.696 juta ton CO?e pada periode yang sama.
Meski begitu, dengan pertumbuhan ekonomi 8 persen, Indonesia tetap akan menghasilkan emisi GRK yang tinggi. Target penyerapan emisi FOLU pada 2035 sebesar minus 207 juta ton CO?e diharapkan mampu menutup tingginya emisi dari sektor energi — yang diproyeksikan mencapai 1.336 juta ton CO?e, naik 103 persen dibandingkan tahun 2019.
Mitigasi di sektor energi direncanakan melalui peningkatan bauran energi terbarukan hingga 19–23 persen pada 2030 dan 36–40 persen pada 2040, serta penggunaan kendaraan listrik. Namun, target puncak emisi sektor energi diperkirakan baru akan tercapai pada 2038 — mundur dari estimasi sebelumnya dalam draf SNDC. Secara keseluruhan, emisi GRK Indonesia diproyeksikan terus naik hingga 2035, sebelum kemudian menurun tajam menuju 2060.
IESR menilai penundaan puncak emisi ini tidak efisien dan justru akan menimbulkan biaya yang lebih besar di masa depan. Penundaan juga berisiko membuat Indonesia gagal memenuhi target Persetujuan Paris.
Merujuk pada tolok ukur 1,5°C Climate Action Tracker (CAT), agar selaras dengan jalur Persetujuan Paris, target emisi GRK absolut Indonesia pada 2035 seharusnya berada di sekitar 720 juta ton CO?e (di luar sektor FOLU).
Namun, target SNDC justru tidak lebih ambisius dibandingkan dengan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, yakni sebesar 760 juta ton CO?e pada 2035 (termasuk FOLU). Padahal, sebagai acuan utama aksi iklim nasional, target SNDC seharusnya mencerminkan tingkat ambisi tertinggi yang paling memungkinkan — sesuai Pasal 4 Persetujuan Paris.
Untuk dapat sejalan dengan trayektori Paris, Indonesia memerlukan dukungan internasional yang signifikan, baik secara teknis maupun finansial.
Baca juga: IESR Perkirakan Ada Perbaikan di Second NDC, Tapi Tetap Tak Jawab Target Perjanjian Paris
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya