KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - Senin (27/10/2025) pagi, saya bersama tim Kompas.com mengikuti patroli antisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Desa Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang.
Kami berangkat bersama tim dari Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan Masyarakat Peduli Api (MPA), menyusuri kanal-kanal buatan yang dulunya dibangun untuk mengeringkan lahan gambut.
Dari kiri, terlihat deretan pohon kelapa sawit tumbuh berjarak. Dari kanan, sesekali tampak rumah warga dengan halaman luas. Ketinting — perahu kecil bermesin khas dengan suara nyaring — membawa kami menuju hutan desa berisi ekosistem rawa gambut.
Perjalanan tidak selalu mulus. Ketinting yang kami tumpangi kerap mogok, bergerak lambat di atas air berwarna cokelat tua. Bau solar bercampur aroma lumpur basah mulai terasa saat kami memasuki area hutan yang lebih lebat.
Sebelum sampai di kawasan hutan desa, seekor kera tampak mencari makan di tepian. Kami juga sempat melihat orangutan yang enggan mengambil makanan dan memilih kabur.
Di jalur air berliku itu, suara mesin bercampur dengan nyanyian serangga. Saat mesin dimatikan, kesunyian alam menyambut kami — manusia urban Jakarta yang terbiasa hidup dalam hiruk-pikuk kota, berjuang dengan sepi.
Baca juga: Tropenbos Libatkan Masyarakat untuk Redam Karhutla di Lanskap Pawan Kalbar
Perjalanan pulang kami tempuh lewat rute pintas, melewati kanal sempit yang membelah kebun sawit. Di atas ketinting, kami harus sering menunduk melewati jembatan rendah dan menghindari ranting yang menghadang.
Hutan rawa gambut di Desa Sungai Besar kini menghadapi ancaman besar: ekspansi sawit dari hilir dan pertambangan ilegal dari hulu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat, Adi Yani, mengakui adanya ancaman tersebut.
“Kalau di APL ini tentu banyak aktivitas masyarakat yang dibolehkan, sehingga mereka bisa misalnya, membakar ladangnya,” tutur Adi.
Ia menjelaskan, hutan desa di Kalimantan Barat tidak hanya berada di dalam kawasan hutan, tetapi juga di zona penyangga atau sempadannya, yang berdekatan dengan areal penggunaan lain (APL).
Hutan rawa gambut di Desa Sungai Besar kini telah dimasukkan dalam peta indikatif nilai konservasi tinggi (HCV), untuk memastikan jalur kehidupan satwa seperti orangutan tetap terhubung. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat pun telah menetapkan wilayah ini sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).
Ke depan, kawasan tersebut juga direncanakan menjadi cagar biosfer, sekaligus pusat penelitian dan jasa lingkungan, khususnya terkait karbon.
“Kami ingin masyarakat di sana juga bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan hutan desa agar tetap terjaga, dan ada nilai tambah berupa pendapatan bagi warga yang menjaga dari karhutla, pertambangan ilegal, dan pembalakan liar,” ujar Adi.
Sebuah anekdot satir kerap terdengar di daerah itu: “Kalau semua lahan sudah menjadi sawit, tidak ada lagi kabut asap.”
Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya