Narasi yang diangkat sering berkisar pada kebutuhan talenta global, efisiensi, dan profesionalisme kelas dunia.
Namun, perdebatan ini tidak dapat berdiri di ruang vakum normatif. Indonesia bukan sekadar entitas ekonomi; ia adalah negara konstitusional yang mendasarkan seluruh aktivitas ekonominya pada mandat Pasal 33 UUD 1945.
Dalam kerangka itu, BUMN tidak hanya hadir untuk mencetak laba, tetapi sebagai instrumen kedaulatan ekonomi, alat pemerataan kesejahteraan, serta pilar pelayanan publik.
Benar bahwa hukum positif pada tingkat undang-undang—baik Undang-Undang BUMN maupun Undang-Undang Perseroan Terbatas—tidak mencantumkan frasa eksplisit yang mensyaratkan direksi BUMN harus warga negara Indonesia.
Namun, ketiadaan teks tidak otomatis menjelma menjadi izin konstitusional. Hukum kehidupan publik tidak berhenti pada bahasa undang-undang; ia harus dibaca dalam cahaya nilai konstitusi dan tujuan bernegara.
Dalam paradigma ekonomi konstitusional Indonesia, kekuasaan pengelolaan sumber daya strategis tidak hanya soal manajemen perusahaan, melainkan pengamanan kepentingan nasional.
Direksi BUMN memegang tanggung jawab yang melampaui logika korporasi privat. Keputusan mereka menentukan arah sektor energi, infrastruktur transportasi, telekomunikasi, pangan, logistik, hingga pengelolaan keuangan negara.
Karena itu, posisi direksi BUMN berada dalam wilayah abu-abu yang unik: ia memang menjalankan prinsip bisnis, tetapi konsekuensi publik dari keputusannya menjadikannya bagian tak terpisahkan dari ekosistem kekuasaan negara.
Dalam kerangka hukum administrasi, kewenangan yang memengaruhi kepentingan umum menuntut akuntabilitas yang tidak hanya bersifat kontraktual, melainkan juga bersifat konstitusional dan moral kebangsaan.
Loyalitas pada republik tidak dapat dipinjam; ia melekat pada status kewarganegaraan. Di titik ini, persoalan bukan lagi tentang menutup diri dari talenta global, melainkan tentang batas wajar keterlibatan mereka pada posisi yang memegang kendali strategis negara.
Negara-negara yang menjadi rujukan modernitas ekonomi—Jepang, Korea Selatan, China, hingga Singapura—tetap menjaga agar kursi kunci perusahaan negara tidak ditempati warga negara asing.
Mereka belajar dari dunia, tetapi kendali utama tidak dilepaskan dari tangan bangsanya sendiri. Kepercayaan pada talenta sendiri adalah fondasi bangsa maju.
Dalam lanskap global hari ini, kompetisi antarnegara tidak lagi diwujudkan semata melalui konflik bersenjata, melainkan melalui akses pada informasi strategis, penguasaan rantai pasok, kendali energi, dan dominasi data publik.
BUMN berada tepat di simpul vital itu. Persetujuan untuk memberikan akses penuh pengelolaan BUMN kepada warga negara asing berarti membuka pintu terhadap potensi kebocoran informasi strategis dan ketergantungan kebijakan pada pihak non-subjek hukum Indonesia.
Walaupun pengaturan ketenagakerjaan membolehkan tenaga kerja asing menduduki jabatan tertentu dengan izin khusus, maka dalam konteks BUMN persoalannya bukan sekadar kepatuhan administratif atas izin kerja.
Persoalannya adalah perlindungan keamanan ekonomi nasional dan kerahasiaan strategis negara. Di sini, kehati-hatian bukan sikap konservatif, melainkan prinsip kehormatan negara dalam mengelola risiko.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa negara yang ceroboh dalam menjaga data strategis akhirnya kehilangan kemampuan mengontrol arah ekonominya.
Hilangnya kedaulatan ekonomi jarang dimulai oleh invasi; ia lebih sering dimulai oleh keputusan teknokratis yang terlihat rasional, tapi mengabaikan makna kedaulatan di balik angka dan efisiensi.
Pada akhirnya, ini tentang harga diri bangsa. Kita boleh mengadopsi standar global, mengundang ahli dunia, dan membuka ruang untuk transfer pengetahuan.
Namun, kemudi tidak semestinya berpindah tangan. Kehormatan bangsa teruji bukan pada kemampuannya mengimpor keahlian, melainkan pada kemampuannya membentuk pemimpin sendiri.
Jika hari ini kita merasa membutuhkan talenta asing untuk memimpin BUMN, maka solusinya bukan menyerahkan kemudi, tetapi menciptakan sistem pembinaan dan kaderisasi yang memungkinkan anak bangsa naik kelas.
Modernisasi tidak identik dengan ketergantungan, dan profesionalisme tidak sinonim dengan menyerahkan kendali strategis.
Kedaulatan ekonomi bukan sekadar doktrin hukum; ia adalah ekspresi martabat kolektif. Negara yang percaya pada masa depan bangsanya akan berani mendidik, menumbuhkan, dan mempercayai anak negeri untuk menjadi pemimpin.
BUMN adalah benteng ekonomi republik, dan benteng itu layak dijaga oleh mereka yang terikat nasib dengan tanah ini, sejak nama negara ini diucapkan pertama kali sebagai janji kemerdekaan.
Kursi direksi BUMN adalah kursi kepercayaan negara kepada dirinya sendiri. Di era keterbukaan global, prinsip itu tidak hanya relevan; ia semakin penting.
Karena bangsa yang besar bukan bangsa yang paling cepat mengikuti dunia, melainkan bangsa yang paling teguh berdiri di atas pijakan nilai dan martabatnya sendiri.
https://money.kompas.com/read/2025/11/02/064500426/direksi-asing-bumn--kedaulatan-yang-diserahkan