KOMPAS.com – Kinerja keuangan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) berdarah-darah. Beban utang beserta bunga pinjaman membuat perusahaan menanggung kerugian hingga triliunan rupiah.
Sejak awal, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) memang tak lepas dari persoalan. Pembengkakan biaya (cost overrun) menjadi salah satu masalah utama.
Bahkan, pemerintah pada masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya ikut mengucurkan dana APBN untuk menopang proyek tersebut.
Padahal sesuai janji yang beberapa kali diucapkan sebelumnya, pemerintah telah menegaskan bahwa pembangunan KCJB akan murni menggunakan skema business to business (b to b) tanpa melibatkan dana APBN.
Namun janji tinggal janji. Komitmen lain yang kemudian berubah adalah pemberian jaminan pemerintah atas pinjaman dari kreditur China. Presiden Jokowi kala itu sampai harus merevisi beberapa regulasi.
Setelah resmi beroperasi, masalah baru muncul. Perusahaan mencatatkan kerugian besar.
Baca juga: Whoosh Bikin Tekor KAI Nyaris Rp 1 Triliun di Semester I 2025
Dalam laporan keuangan per 30 Juni 2025 (unaudited) yang dipublikasikan melalui situs resmi PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) mencatat kerugian Rp 4,195 triliun sepanjang 2024.
PT PSBI adalah konsorsium BUMN Indonesia yang jadi pemegang saham mayoritas PT KCIC. Rugi berlanjut di tahun 2025. Hanya dalam enam bulan pertama 2025, kerugian PSBI mencapai Rp 1,625 triliun.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sejatinya ide lama. Jika menilik ke belakang, rencana pembangunan transportasi massal modern ini pertama kali mencuat pada 2014-2015, di penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu, Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) sudah menunjukkan keseriusan dengan menyusun studi kelayakan.
Bahkan, Negeri Sakura rela menggelontorkan dana sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk membiayai kajian yang melibatkan Kementerian Perhubungan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT, kini BRIN).
SBY kala itu tak mau buru-buru memutuskan. Namun, memasuki era pemerintahan Presiden Joko Widodo, arah kebijakan berubah. Pemerintah membuka peluang bagi Jepang maupun China untuk menawarkan proposal pembangunan.
Baca juga: Keruwetan Kereta Cepat, Dulu Jonan Keberatan, Kini Bikin BUMN Rugi
Syarat yang ditetapkan Indonesia kala itu tegas: proyek tidak boleh menggunakan dana APBN, dan pemerintah tidak akan memberi jaminan jika terjadi masalah di kemudian hari.
Jepang mengajukan proposal investasi sebesar 6,2 miliar dollar AS, dengan pinjaman tenor 40 tahun dan bunga hanya 0,1 persen per tahun.
Namun, di tengah jalan, China mengajukan tawaran baru dengan nilai investasi lebih rendah, yakni 5,5 miliar dollar AS, meskipun dengan bunga lebih tinggi, 2 persen.