Saat lomba makan kerupuk, panitia 17-an kerap menggunakan jenis kerupuk putih keriting berulir yang disebut sebagai kerupuk uyel.
Sejumlah kerupuk akan digantung menggunakan tali rapia, lalu para peserta bersiap memakan kerupuk dengan posisi kedua tangan di belakang.
Peserta lomba yang menghabiskan kerupuk paling cepat akan dinobatkan sebagai pemenang dalam perlombaan ini.
Di balik keseruan lomba makan kerupuk 17 Agustus, ada sejarah panjang kerupuk yang ternyata sudah melekat sejak lama di budaya Indonesia.
“Kerupuk sudah tercatat dalam naskah Jawa kuno sejak sebelum abad ke-10 Masehi,” kata Fadly, dilaporkan Kompas.com pada Minggu (9/8/2020).
Hal ini menunjukan bahwa kerupuk sudah menjadi makanan pendamping untuk masyarakat kuno pada saat itu. Salah satu kerupuk yang paling tua dan sudah lama dikonsumsi adalah rambak.
Kerupuk rambak atau kerupuk kulit dibuat dari kulit hewan sapi atau kerbau. Kerupuk rambak sering dikonsumsi oleh masyarakat Hindia Belanda kalangan atas seperti priyayi.
“Bagi masyarakat pribumi dari kalangan jelata maupun kalangan bangsawan, juga menikmati kerupuk rambak,” kata Fadly.
Pada masa kerajaan, rambak dijadikan sebagai hidangan pelengkap pada saat jam makan tiba.
Hal ini sama seperti masa sekarang yang menjadikan kerupuk sebagai makanan pendamping kegemaran masyarakat Indonesia.
Sejarah kerupuk aci
Berbeda dengan kerupuk rambak yang memanfaatkan kulit hewan, sejarah kerupuk aci bermula dibuat karena banyaknya produksi singkong di tanah Jawa pada abad ke-19.
Kerupuk bulat dan berwarna putih itu dibuat dari olahan singkong atau terkenal dengan sebutan “aci” dalam bahasa Sunda.
Kerupuk aci juga dikonsumsi oleh masyarakat dengan kasta sosial berbeda. Tidak seperti kerupuk rambak yang dinikmati kalangan atas, kerupuk aci banyak dikonsumsi oleh masyarakat kalangan bawah.
Pada abad ke-19, singkong menjadi salah satu komoditas pangan yang paling diandalkan oleh masyarakat Jawa.
“Singkong bisa direbus, digoreng atau dijadikan gablek, kemudian diolah menjadi tepung dan jadi aci dan salah satu produk dari singkong ya kerupuk,” papar Fadly.
Diduga kerupuk aci baru muncul pada abad ke-19 sehingga masyarakat Indonesia saat itu bertahan hidup dengan kerupuk.
Masyarakat terpaksa memanfaatkan kerupuk sebagai bahan pangan pokok karena wilayah tersebut mengalami devisit pangan akibat perang dan bisa jadi tanam paksa.
Tepung singkong dimanfaatkan sebagai kerupuk dan dijadikan lauk bagi rakyat biasa. Tepung singkong diolah lalu dicetak, kemudian dijemur dan akhirnya digoreng.
Fadly mengatakan bahwa sekitar tahun 1930-an hingga 1940-an, masyarakat sangat kekurangan bahan pangan.
Masyarakat hanya bisa makan dari kerupuk dan nasi, selain itu juga olahan bahan pangan yang murah seperti singkong.
Masyarakat Indonesia yang kurang mampu hanya bisa menyantap kerupuk sebagai lauk. Sebab bahan makanan seperti daging sangat minim. Bila pun ada di pasar, harganya sangat mahal.
“Kalau sekarang makan kerupuk adalah hal yang biasa, tapi di balik itu kerupuk menjadi simbol keprihatinan,” kata dia.
Mengapa ada lomba makan kerupuk 17 Agustus?
Sejarah lomba makan kerupuk tidak terlepas dari sejarah kerupuk itu sendiri. Fadly menutukan, seiring dengan kemerdekaan Indonesia, banyak perlombaan-perlombaan yang diadakan saat masa tahun 1950-an.
Pada masa tersebut, kondisi politik dan keamanan negara sudah mulai kondusif karena pada 1945 hingga 1950-an masih banyak peperangan yang mengharuskan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaannya.
Sehingga masyarakat tidak sempat merayakan kemerdekaan Indonesia dengan beraneka macam perlombaan dan perayaan meriah.
Namun pada 1950-an, mulai bermunculan lomba untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.
“Bahkan Bung Karno kala itu mendukung kegiatan-kegiatan hiburan rakyat seperti perlombaan-perlombaan ini,” tutur Fadly, dikutip dari Kompas.com, Minggu (17/8/2025).
Perlombaan 17-an bertujuan menghibur rakyat setelah masa peperangan berakhir. Ada lomba panjat pinang, tarik tambang, dan makan kerupuk.
Lomba makan kerupuk menjadi salah satu lomba pertama yang diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia kala itu.
Sebab kerupuk identik sekali sebagai makanan rakyat jelata di masa perang. Kerupuk biasa dikonsumsi oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang berada di strata sosial dan ekonomi bawah.
“Jadi dengan makan nasi dan kerupuk, tanpa kecap dan garam pun mereka (rakyat jelata di saat perang) sudah bisa bertahan hidup,” pungkas dia.
https://www.kompas.com/food/read/2025/08/17/142632375/sejarah-kerupuk-makanan-yang-selalu-ada-saat-lomba-hut-ri