SYDNEY, KOMPAS.com – Gelombang demonstrasi anti-imigrasi yang melanda berbagai kota besar di Australia pada akhir pekan atau Minggu (31/8/2025) menuai kecaman sekaligus kekhawatiran dari warga dan tokoh masyarakat.
Aksi demo Australia yang menamakan diri Pawai untuk Australia itu digelar di Sydney, Melbourne, hingga sejumlah kota regional.
Namun, unjuk rasa tersebut justru diwarnai kehadiran kelompok ekstrem kanan, termasuk anggota Jaringan Sosialis Nasional yang dikenal berhaluan neo-Nazi.
Di tengah orasi, sejumlah peserta terdengar meneriakkan yel-yel ofensif seperti “pulangkan mereka” dan “hentikan invasi,” yang ditujukan kepada imigran baru serta warga kulit berwarna di Australia.
Meski begitu, ada juga peserta yang berpendapat aksi tersebut bukan soal rasisme. Mereka mengklaim hanya ingin menyuarakan keresahan terhadap tingginya tingkat migrasi yang dinilai membebani perekonomian negara.
Kenangan kebijakan diskriminatif
Ketua Federasi Dewan Komunitas Etnis Australia (FECCA), Peter Doukas, menyebut demonstrasi itu membangkitkan kembali ingatan pahit masa lalu, khususnya kebijakan Australia Putih yang pernah berlaku di negara tersebut.
“Demonstrasi ini menyatukan pengalaman para migran yang baru tiba dengan para migran yang sangat awal, mereka yang tiba selama kebijakan Australia Putih,” ujarnya, dikutip dari ABC Australia.
Ia menekankan, aksi tersebut justru memperlihatkan pentingnya memperkuat komitmen terhadap nilai multikulturalisme.
“Demonstrasi ini memperkuat perlunya advokasi yang berkelanjutan untuk Australia multikultural dan kekuatan yang diberikan oleh komunitas multikultural yang lebih luas kepada negara ini,” kata Doukas.
Kekhawatiran warga keturunan imigran
Di Sydney, Nayonika Bhattacharya, seorang warga keturunan India, mengaku merasa cemas saat berada di pusat kota untuk menyemangati temannya yang mengikuti lomba maraton.
“Sebagian besar pikiran setiap orang seperti, saya bisa diserang, saya bisa dirampok, saya bisa dipukuli hanya untuk menikmati maraton,” ujarnya, Senin (1/9/2025).
Perempuan berusia 26 tahun itu menambahkan, sepanjang hari ia dan teman-temannya yang juga berasal dari latar belakang multikultural terus saling memberi kabar untuk memastikan keselamatan.
“Salah satu pernyataan yang saya dengar dari unjuk rasa Maret untuk Australia adalah terlalu banyak orang India di sini. Saya pikir itu sangat konfrontatif,” katanya.
“Rasanya menakutkan karena saya tidak pernah merasa mengasingkan diri. Saya bangun setiap hari dengan niat menjadi orang baik, peduli dengan komunitas. Lalu diberi tahu bahwa kontribusi saya dianggap buruk atau tidak diinginkan, itu terasa sangat absurd,” lanjutnya.
Sebagai salah satu ketua Jaringan Advokasi Pemuda Multikultural, Bhattacharya berharap generasi muda dari berbagai latar belakang tetap merasa diterima.
“Akan selalu ada orang yang mengatakan bahwa Anda tidak diterima. Tetapi selama Anda hadir dengan kerendahan hati, dengan kebaikan, dan memperhatikan orang-orang di sekitar Anda, akan selalu ada tempat di sini untuk semua orang,” ucapnya.
Kekhawatiran akademisi dan respons pemerintah
Sejumlah menteri pemerintah federal mengutuk aksi tersebut, sementara anggota parlemen oposisi memperingatkan potensi kelompok neo-Nazi menggunakan momentum ini untuk merekrut anggota baru.
Bahkan, beberapa politisi terlihat hadir dalam aksi di berbagai kota, termasuk Senator Pauline Hanson di Canberra dan Bob Katter, anggota parlemen dari Queensland, di Townsville.
Profesor studi keamanan dari Universitas Macquarie, Julian Droogan, menilai demonstrasi itu seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah.
“Kelompok-kelompok sayap kanan yang secara eksplisit anti-pemerintah dan neo-Nazi memanfaatkan kekhawatiran publik seputar isu-isu seperti biaya hidup dan imigrasi untuk memobilisasi publik ke sesuatu yang lebih dekat dengan tujuan mereka. Ini merupakan perkembangan yang sangat memprihatinkan,” katanya.
Menurut Droogan, beberapa narasi kelompok ekstrem kanan memang beresonansi dengan masyarakat luas, terutama terkait isu imigrasi.
“Apakah itu berarti lebih banyak warga Australia yang sejalan dengan atau menanggapi neo-Nazisme tertentu atau sentimen supremasi kulit putih yang eksplisit adalah pertanyaan lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, menjaga kohesi sosial bukan hanya tanggung jawab pemerintah.
“Pemerintah federal dan negara bagian memang menanggapi isu-isu ini dengan serius, tetapi kita semua punya peran. Ini adalah masalah seluruh masyarakat, sehingga semua lembaga dan warga Australia seharusnya berbuat lebih banyak untuk memastikan kita tangguh terhadap bentuk-bentuk ekstremisme, kebencian, dan gerakan politik yang memecah belah,” tutur Droogan.
Perlawanan dari masyarakat
Aksi anti-imigrasi itu juga memicu gelombang protes tandingan dari masyarakat yang menolak rasisme. Bentrokan kecil sempat terjadi di beberapa titik, terutama di Melbourne dan Sydney.
Meski demikian, Doukas optimistis bahwa semangat kebersamaan masih kuat di Australia.
“Saya pikir warga Australia biasa yang tidak berpartisipasi dalam demonstrasi-demonstrasi ini membuktikan bahwa ini adalah gerakan pinggiran,” ucapnya.
“Warga Australia biasa telah merangkul pluralisme dan multikulturalisme dalam kerangka rasa hormat yang lebih luas, dan saya pikir itulah yang kita petik dari ini,” tutupnya.
https://www.kompas.com/global/read/2025/09/01/121525970/tokoh-masyarakat-demo-australia-bangkitkan-kenangan-kelam-masa-lalu