Karena mereka tidak memiliki alat untuk membantu mereka menghantam sasaran, para pilot dalam resimen ke-588 menjalani operasi yang berbahaya. Saat mereka mendekati sasaran, mereka mematikan mesin agar bisa bergerak dalam kesunyian.
Pada momen yang tepat, mereka menyalakan api penanda untuk mengisyaratkan pada ahli navigasi ke arah mana mereka harus meluncurkan bom.
Namun, nyala api itu juga menunjukkan lokasi mereka kepada tentara Nazi.
Pilot harus menjaga stabilitas pesawat agar ahli navigasi dapat mengarahkan bom. Misi mereka menjadi semakin sulit karena tentara Nazi menggunakan lampu besar yang silau untuk menghalangi pandangan mereka, serta senapan mesin anti-pesawat.
Karena jenis pesawat Polikarpov Po-2 tidak memiliki pelindung, seringkali pesawat itu terbakar seperti korek api.
Peran dari para “penyihir malam” itu bukan sekadar menjatuhkan bom dan menyebarkan kematian dan kehancuran. Tugas mereka adalah “menganggu pasukan Jerman yang sudah menjalankan manuver seharian,” jelas Debbie Land kepada BBC.
“Jadi tugas mereka adalah menyita waktu tidur orang Jerman, dengan memaksa mereka bekerja sepanjang malam agar esok harinya mereka kecapekan.”
Ketika mereka mendarat, mereka langsung mengisi ulang amunisi dan terbang lagi.
Kadang para pilot perempuan bisa terbang hingga 15 kali dalam semalam, jauh melebihi jumlah penerbangan pilot pria, menurut laporan.
Taktik mereka yang mematikan mesin saat mendekati target memang merupakan praktik yang lumrah digunakan di Angkatan Udara. Namun, yang membuat mereka unik, kata Pennington, adalah kemampuan mereka terbang lebih sering dibandingkan unit lain.
Kemampuan ini timbul dari inovasi mereka dalam merawat pesawat dan mengisi ulang amunisi, serta cara mereka melatih pilot cadangan.
Komandan Yevdokia Bershanskaia mengembangkan cara inovatif untuk mengisi ulang bahan bakar pesawat.
Alih-alih mendedikasikan satu tim perawatan dan pengisian bahan bakar untuk setiap pesawat, Bershanskaia menggunakan sistem antrean lini produksi dengan tim khusus untuk setiap tugas, misalnya mengisi tanki bahan bakar dan menambah amunisi pesawat.
“Dengan begitu, sebuah pesawat sudah siap terbang dalam 10 menit,“ jelas profesor dari Norwich University. Ia menambahkan, sistem ini membantu pesawat lebih sering melakukan penerbangan.
Sebagai tanda penghormatan atas jasa mereka, Resimen Pengebom Malam ke-588 menerima pangkat Garda Udara. Resimen itu kemudian dikenal sebagai Garda Resimen Pengebom Malam ke-46.
Bershanskaia juga dikaruniai Ordo Spanduk Merah, dan banyak “penyihir malam“ lainnya juga menerima penghargaan bergengsi. Bahkan, 23 pilot perempuan mendapatkan gelar “Pahlawan Uni Soviet“, penghargaan tertinggi di negara itu.
Baca juga: Kisah Perang: Luftwaffe, AU Nazi Spesialis Serangan Kilat Blitzkrieg
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini