WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan langkah mengejutkan untuk mengizinkan 600.000 mahasiswa asal China menempuh pendidikan di universitas-universitas AS.
Pernyataan itu disampaikan pada Senin (25/8/2025), hanya beberapa bulan setelah pemerintahannya melancarkan pengetatan visa terhadap mahasiswa China.
Pengumuman ini dinilai sebagai perubahan tajam dari sikap keras Trump sebelumnya, yang sempat menganggap mahasiswa China sebagai potensi ancaman keamanan nasional.
Baca juga: AS Anggap Mahasiswa China sebagai Ancaman, Kini Visa Dicabut
Saat ditanya wartawan di Ruang Oval, Trump menyinggung hubungannya dengan Presiden China Xi Jinping.
Ia berkata, “Saya mendengar banyak cerita tentang ‘kita tidak akan izinkan mahasiswa mereka’, tetapi kita akan izinkan mahasiswa mereka masuk. Kita akan izinkan itu. Itu sangat penting – 600.000 mahasiswa.”
Keesokan harinya, dalam rapat kabinet, Trump kembali menegaskan, “Saya sudah katakan kepada Presiden Xi bahwa kami merasa terhormat memiliki mahasiswa mereka di sini. Tentu saja, kita tetap periksa dengan hati-hati siapa yang datang.”
Trump juga menambahkan bahwa AS akan kesulitan jika tanpa keberadaan mahasiswa China.
Kementerian Luar Negeri China melalui juru bicara Guo Jiakun menyambut positif pernyataan Trump.
Dalam konferensi pers rutin pada Rabu (27/8/2025), Guo mengatakan pihaknya berharap AS benar-benar menjalankan komitmen tersebut.
Namun, Guo juga mendesak Washington untuk menghentikan apa yang disebutnya sebagai “pelecehan, interogasi, dan deportasi tanpa alasan” terhadap mahasiswa China.
Kebijakan terbaru ini bertolak belakang dengan pernyataan yang dibuat pemerintahan Trump pada Mei lalu.
Saat itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyebut Trump akan “secara agresif” mencabut visa mahasiswa China, terutama mereka yang dianggap terkait Partai Komunis China (CCP) atau menempuh studi di bidang strategis.
Bahkan pada Agustus, Departemen Luar Negeri AS dilaporkan telah mencabut 6.000 visa mahasiswa internasional karena pelanggaran aturan. Belum jelas berapa banyak di antaranya yang berasal dari China.
Kyle Chan, peneliti China di Universitas Princeton, menilai kebijakan yang kabur waktu itu justru bagian dari strategi.