Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspada, Ini Risiko yang Muncul jika Batal Beli Rumah tapi Teken PPJB

Kompas.com - 20/08/2025, 07:42 WIB
Suhaiela Bahfein,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Saat proses jual beli rumah, kegagalan atau pembatalan transaksi di tengah jalan seringkali terjadi.

Hal itu pun berlaku meski pembeli dan pengembang telah membuat serta menandatangani dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

Akan tetapi, PPJB memberikan jaminan berkekuatan hukum apabila terjadi permasalahan atau pembatalan dalam proses jual beli.

Baik pembeli maupun pengembang tidak bisa serta merta lepas tangan dan harus menanggung akibat dari proses jual beli yang batal.

Ini mengingat sudah terjadi transaksi uang berupa down payment (DP) atau uang muka hingga angsuran ketika PPJB dibuat.

Baca juga: Ada Nilai Ekonomis dan Sosiologis dalam Biaya Pengurusan PPJB Notaris

"PPJB adalah baru pengikatan jual beli. Umumnya, masih berproses," tegas Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (Waketum DPP REI) Bambang Ekajaya kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Namun sebelum mengetahui apa konsekuensi pembatalan transaksi, ada baiknya jika mengetahui PPJB terlebih dahulu.

Pengertian PPJB

PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun (sarusun).

Ini dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan rusun atau dalam proses pembangunan rumah tunggal dan rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.

Hal itu sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perbuahan Atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.

PPJB merupakan hasil dari rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan ketika kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam PPJB sebelum ditandatangani Akta Jual Beli (AJB).

Baca juga: Sama-sama Dokumen Jual Beli Properti, Ini Bedanya PPJB dan AJB

Konsekuensi Batal

Untuk diketahui, PPJB dilakukan setelah pengembang memenuhi syarat, yaitu kepastian status kepemilikan tanah; hal yang diperjanjikan (kondisi rumah dan sebagainya).

Kemudian, Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan keterbangunan rumah paling sedikit 20 persen.

Ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perbuahan Atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Selanjutnya, pelaku pembangunan tidak boleh menarik dana lebih dari 80 persen kepada pembeli sebelum memenuhi persyaratan PPJB.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau