KOMPAS.com - Di penghujung Maret 1981, Presiden ke-2 RI Soeharto dihadapkan pada beberapa peristiwa penting yang menguras perhatian dan tenaga.
Pada Kamis (26/3/1981), Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan ke Thailand untuk bertemu dengan Perdana Menteri Prem Tinsulanonda.
Keduanya berbincang selama sekitar satu jam membahas situasi di Kamboja yang tengah bergejolak.
Menurut pemberitaan Harian Kompas edisi Jumat (27/3/1981), pembicaraan tersebut membahas kesepakatan bahwa penyelesaian konflik Kamboja harus ditempuh melalui jalur politik dan diplomasi.
Sepulang dari lawatan itu, Soeharto dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih pelik, sebuah peristiwa yang menguji nama baik Indonesia sekaligus mempertaruhkan nyawa puluhan orang.
Baca juga: Pemerintah Turunkan Harga Tiket Pesawat Domestik Nataru 2026, Kapan Jadwal Terbangnya?
Pesawat DC-9 “Woyla” milik Garuda Indonesia dibajak oleh lima orang yang mengatasnamakan diri sebagai anggota kelompok keagamaan pada Sabtu (28/3/1981).
Pesawat itu dibajak sekitar pukul 10.10 WIB ketika terbang dari Palembang, Sumatera Selatan menuju Medan, Sumatera Utara.
Para pembajak kemudian memaksa pilot mengubah rute penerbangan ke Malaysia, sebelum akhirnya pesawat berakhir di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Pelaku pembajakan kemudian menuntut pembebasan sejumlah orang yang ditahan karena terlibat dalam pembunuhan empat anggota polisi pada Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat.
Selain itu, para pembajak juga meminta tebusan sebesar 1,5 juta dolar AS.
Baca juga: Tarif Tiket Pesawat Domestik untuk Libur Nataru Turun, Pembelian Mulai 22 Oktober 2025
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam setelah menerima kabar pesawat Garuda dibajak.
Peristiwa itu menjadi perhatian serius karena pesawat yang dikuasai pembajak merupakan milik Indonesia dan di dalamnya terdapat puluhan nyawa yang harus diselamatkan.
Pesawat DC-9 “Woyla” tercatat mengangkut 48 penumpang dan lima awak. Dari seluruh penumpang, tiga orang merupakan warga negara Amerika Serikat, satu warga Inggris, dan satu warga Jepang.
Untuk menindaklanjuti situasi itu, pemerintah memutuskan melancarkan operasi pembebasan sandera secara senyap dengan melibatkan Pasukan Grup 1 Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha), yang kini dikenal sebagai Kopassus.
Pasukan tersebut diterjunkan ke Don Muang dan melancarkan operasi pada Selasa (31/3/1981) di bawah komando Kepala Pusat Intelijen Strategis, Letjen L.B. Moerdani.