Maka, pelaksanaan kurban yang tidak memperhatikan dampak sosial—seperti limbah, kebisingan, atau distribusi yang tidak adil—berpotensi melanggar hak-hak warga lain untuk hidup dalam lingkungan yang bersih, sehat, dan adil.
Baca juga: Papua Bukan Tanah Kosong: Save Raja Ampat!
Pun, yang perlu kita renungkan bukan hanya “berapa banyak hewan yang disembelih,” tetapi “untuk siapa pengorbanan ini bermakna”.
Sebab sejatinya, kurban adalah cerminan dari kemampuan manusia untuk menundukkan ego demi nilai yang lebih besar—nilai yang juga menjadi dasar kelahiran konsep hak asasi manusia: kesetaraan, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial.
Jika ibadah kurban tidak mampu menumbuhkan kesadaran kolektif tentang penderitaan dan ketimpangan, maka kita patut bertanya ulang, siapa yang sesungguhnya sedang dikorbankan?
Dalam hal ini, kita perlu mendorong reinterpretasi kurban yang lebih emansipatoris. Kurban bukan hanya soal darah dan daging, melainkan juga soal memperjuangkan keberpihakan kepada mereka yang selama ini terpinggirkan dari akses ekonomi dan sosial.
Ini adalah bentuk konkret dari positive obligations negara dan masyarakat dalam kerangka HAM: bahwa kita tidak cukup hanya tidak melanggar, tetapi juga harus aktif menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang lain.
Dengan begitu, kurban tidak lagi dimaknai sebatas ritual tahunan, melainkan momentum strategis untuk menghidupkan kembali semangat gotong royong, redistribusi, dan keadilan substantif.
Kurban pun sejatinya menjadi momen penting untuk merefleksikan relasi kuasa dalam masyarakat. Siapa yang memiliki akses untuk berkurban? Siapa yang memonopoli panggungnya? Pun, siapa yang bahkan tak tercatat sebagai penerima manfaatnya?
Baca juga: Ibadah Haji dan Permainan Kotor Global
Dalam lensa filsafat politik kontemporer, khususnya melalui teori keadilan distributif ala Rawls, keadilan sejati terwujud ketika mereka yang berada di posisi paling tidak beruntung mendapat perhatian utama dari kebijakan atau tindakan sosial.
Kurban bisa—dan seharusnya—diarahkan ke sana: berpihak secara nyata, bukan sekadar simbolik.
Jika menelaah secara kritis, kurban akan kehilangan maknanya jika tidak mampu menjelma menjadi aksi kemanusiaan. Idul Adha bukan sekadar perayaan pengorbanan, melainkan peneguhan atas nilai-nilai yang mendasari hidup bersama.
Ketika ego ditanggalkan, ketika kelebihan dibagikan, ketika keberagamaan dipraktikkan dengan kesadaran etis, maka di sanalah hakikat hak asasi manusia menemukan ruang hidupnya—dalam sunyi sembelih yang membebaskan, bukan menindas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya