Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan September Hitam Indonesia: Tragedi 1965, Kematian Munir, hingga 17+8 Tuntutan Rakyat

Kompas.com - 05/09/2025, 08:30 WIB
Alicia Diahwahyuningtyas,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

Ketegangan berujung pada bentrokan dengan aparat, di mana demonstran menjadi korban tembakan, pukulan, injakan, dan gas air mata.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyebut sebanyak 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka akibat tragedi tersebut.

Salah satu warga sipil yang tewas dalam peristiwa tersebut merupakan mahasiswa Universitas Indonesia bernama Yap Yun Hap. Ia meninggal akibat tertembak.

Dari hasil pemeriksaan forensik, disebutkan bahwa Yun Hap meninggal akibat tembakan dengan menggunakan peluru tajam.

Ironisnya, pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja bersama komisi III DPR menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan kasus pelanggaran HAM Berat.

4. Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004)

Pada 7 September 2004, Indonesia kehilangan salah satu pejuang HAM, Munir Said Thalib, yang terbunuh dalam penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta–Singapura–Amsterdam.

Otopsi mengungkap Munir meninggal akibat racun arsenik dengan dosis mematikan. Ia meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, pukul 08.10 waktu setempat.

Kasus ini menyita perhatian luas, apalagi terdapat dugaan kuat keterlibatan petinggi negara, khususnya unsur intelijen, dalam operasi pembunuhan yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa.

Munir dikenal kritis terhadap militerisme Orde Baru dan kebijakan represif negara. Karier advokasinya dimulai di LBH Surabaya pada 1989 lalu menjabat ketua LBH (1991).

Suaranya yang lantang menolak RUU BIN dan RUU TNI 2004 menjadikannya target pihak-pihak yang menolak perubahan.

Proses hukum kemudian menyeret Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, lalu dikurangi menjadi 14 tahun, sebelum bebas bersyarat pada 2014 dan bebas murni pada 2018.

Meski begitu, kasus ini belum sepenuhnya tuntas. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menilai ada keterlibatan tokoh intelijen, termasuk Muchdi PR dan mantan Kepala BIN Abdullah Mahmud Hendropriyono, yang hingga kini belum terungkap sepenuhnya.

Baca juga: 11 Tuntutan BEM SI yang Berencana Gelar Demo 2 September 2025

5. Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015)

Pada 26 September 2015, seorang petani dan juga aktivis lingkungan hidup yang dikenal dengan nama Salim Kancil dibunuh secara keji.

Salim dibunuh sesaat sebelum demo penolakan tambang pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.

Diberitakan Kompas.com (26/9/2021), pembunuhan ini didalangi oleh Kepala Desa, Hariyono yang memerintahkan puluhan preman untuk menyerang Salim.

Ia dikeroyok sekitar 40 orang dengan senjata tajam, batu, dan kayu, lalu diseret sejauh dua kilometer ke balai desa hingga tewas.

Kekerasan ini diduga terkait aktivitas Salim bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar, yang aktif menentang penambangan pasir ilegal.

Komnas HAM menilai kematian Salim mencerminkan lemahnya perlindungan bagi pembela lingkungan dan pejuang kemanusiaan.

“Ini lonceng kematian untuk pejuang kemanusiaan. Kasus seperti ini bisa membuat ketakutan untuk pembela HAM,” kata Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, pada 1 Oktober 2015 di Balikpapan, Kaltim.

Para pelaku penganiayaan Salim Kancil telah ditangkap. Meski begitu, penegakan hukum atas kasus ini masih tetap menyisakan ketidakadilan.

Dua otak pelaku pembunuhan dan penganiayaan Salim Kancil dan rekannya, yaitu Hariyono dan rekannya bernama Mat Dasir, yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Selok Awar Awar hanya divonis kurungan 20 tahun penjara.

Keduanya dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Vonis terhadap keduanya lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang menuntut penjara seumur hidup.

6. Kekerasan terhadap massa pada aksi reformasi dikorupsi (24-30 September 2019)

Tragedi Reformasi Dikorupsi menambah catatan September Hitam, yang menggambarkan represivitas aparat dan buruknya pemerintah merespons suara rakyat.

Serangkaian aksi mulai 23-30 September 2019 tersebut menjadi salah satu aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi 1998.

Dikutip dari Kompas.com (27/9/2024), gelombang aksi mahasiswa ini berlangsung di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Medan, Makassar, juga Palu.

Mahasiswa, pelajar, dan warga turun ke jalan menyuarakan mosi tidak percaya kepada DPR.

Mereka menolak revisi UU KPK yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi, serta menentang sejumlah RUU lain yang dinilai merugikan rakyat, mengancam kebebasan sipil, memperparah privatisasi, dan merusak lingkungan.

Kekecewaan ini melahirkan slogan dan tagar #ReformasiDikorupsi, yang sempat trending berhari-hari di media sosial.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau