DALAM dua tahun terakhir, harga kopi dunia khususnya varietas Arabika dan Robusta mengalami lonjakan tajam.
Pada pertengahan 2024, harga Robusta mencapai rekor tertinggi dalam 45 tahun terakhir, menembus angka 4.000 dollar AS per ton.
Data FAO mencatat bahwa rata-rata harga kopi dunia naik 38,8 persen sepanjang tahun 2024, dengan Arabika melonjak sekitar 58 persen dan Robusta bahkan mencapai 70 persen year-on-year (FAO.org).
Lonjakan ini membuat selisih harga antara Arabika dan Robusta semakin menyempit. Padahal secara historis Arabika biasanya dihargai lebih tinggi.
Gangguan pasokan menjadi penyebab utama fluktuasi ini, mulai dari kekeringan ekstrem di Vietnam sebagai produsen Robusta terbesar, hingga banjir dan serangan penyakit di Brasil, yang merupakan produsen Arabika terbesar.
Di Indonesia, curah hujan tinggi di beberapa wilayah sentra kopi turut merusak panen dan memperkecil pasokan.
Selain faktor iklim, kondisi geopolitik global dan spekulasi pasar juga memperburuk ketidakstabilan harga.
Baca juga: Kelapa: Komoditas Strategis, Nasib Petani, dan Arah Kebijakan
Di pasar domestik, efek dari gejolak harga internasional terlihat jelas pada harga beli di tingkat petani.
Harga kopi Robusta premium, misalnya, melonjak menjadi Rp 100.000– Rp 120.000 per kilogram, naik drastis dari kisaran Rp 30.000–Rp 40.000 pada tahun sebelumnya.
Harga ini bahkan mendekati nilai jual Arabika yang selama ini dianggap sebagai kopi unggulan.
Kenaikan harga global ditambah depresiasi rupiah turut mendorong lonjakan harga lokal, meskipun volatilitas tetap tinggi.
Saat pasokan menipis, harga bisa melejit. Namun sebaliknya, ketika stok melimpah, harga langsung merosot tajam.
Fluktuasi harga kopi memiliki dampak ganda bagi Indonesia. Di satu sisi, lonjakan harga memberikan berkah bagi petani dan memperkuat devisa negara.
Saat panen raya 2024, petani mampu meraih pendapatan luar biasa, mencapai Rp 75 juta–Rp 120 juta per hektare dari penjualan kopi segar.
Pendapatan ini menggerakkan ekonomi pedesaan, uang dari hasil panen kopi beredar luas di sentra produksi seperti Gayo, Toraja, dan Temanggung, mendorong aktivitas ekonomi masyarakat setempat.