KOMPAS.com-Kondisi ekonomi global masih tidak menentu. Inflasi tinggi, suku bunga ketat, dan kekhawatiran soal lapangan kerja membuat banyak orang cemas. Namun, tren pengeluaran justru bergerak ke arah berbeda.
Masyarakat semakin rajin membelanjakan uang untuk hal-hal yang memicu suasana hati. Dari lipstik, boneka koleksi seperti Labubu, sampai tiket konser, minat terus naik.
Fenomena ini dikenal dengan sebutan treatonomics. Pengeluaran diarahkan pada “kemewahan sehari-hari” atau pengalaman istimewa sebagai cara melepas penat di tengah tekanan ekonomi.
Menghabiskan uang untuk barang kecil yang menyenangkan bukan hal baru. Make-up, parfum, lilin aromaterapi, atau mainan koleksi termasuk kategori yang tahan resesi. Konsumen mencari “penghiburan kecil” saat situasi sulit.
Baca juga: Lipstick Effect Muncul, Konsumen Tetap Belanja Kecil di Tengah Tekanan Daya Beli
Salah satu teori yang sering dikaitkan adalah “efek lipstik” — penjualan lipstik cenderung naik ketika ekonomi melemah.
Istilah ini muncul pada masa Depresi Besar 1930-an dan kembali populer awal 2000-an. Saat itu, Leonard Lauder, mantan ketua Estée Lauder, mencatat lonjakan penjualan setelah serangan 11 September 2001.
“Efek lipstik pada dasarnya berarti membeli sesuatu yang kecil untuk memanjakan diri ketika berada di bawah tekanan keuangan,” ujar John Stevenson, analis ritel di Peel Hunt, dilansir CNBC.
“Kalau tidak mampu membeli sofa baru, Anda bisa membeli bantal baru. Kalau belum bisa merenovasi rumah, Anda bisa membeli taplak meja baru. Inilah sebabnya kategori perlengkapan rumah tangga lebih tangguh daripada yang dibayangkan banyak orang,” lanjutnya.
Pandemi Covid-19 ikut mendorong tren ini. Banyak orang menilai ulang apa yang membuat hidup bermakna.
Mereka rela berhemat untuk kebutuhan sehari-hari demi membiayai pengalaman spesial. Tiket konser Taylor Swift atau reuni Oasis yang harganya bisa 200 dolar AS (sekitar Rp3,22 juta) hingga 1.000 pound sterling (sekitar Rp21,45 juta) tetap laku keras.
“Perlakuan ini seperti selangkah lebih jauh dari efek lipstik. Anda mengurangi pengeluaran sehari-hari, mungkin beralih ke merek supermarket yang lebih murah, tetapi di sisi lain, Anda rela mengeluarkan uang banyak untuk akhir pekan menonton konser,” kata Stevenson.
Baca juga: Transformasi Perbankan Digital yang Tidak Sekadar Digital Lipstick
Menurut Meredith Smith, Direktur Senior di perusahaan analisis ritel Kantar, tren ini juga dikenal sebagai “Little Treat Culture” di kalangan Gen Z di TikTok.
“Ini bukan soal ‘kesenangan bersalah’, tapi tentang menyuntikkan momen kegembiraan yang bebas rasa bersalah ke dalam hidup,” ujarnya.
“Efeknya seperti ‘efek lipstik’ yang diperkuat. Konsumen sekarang memiliki rasa ketidakpastian yang tinggi, tetapi juga lebih banyak pilihan dan akses untuk mengubah keputusan sehari-hari menjadi kesempatan memanjakan diri.”
Smith menilai, tonggak hidup tradisional seperti pernikahan, membeli rumah, pencapaian karier, atau pensiun kini bergeser. Banyak yang menghilang atau berubah karena faktor finansial dan pilihan pribadi.
“Ini memicu pergeseran dari merayakan ‘tonggak besar’ menjadi merayakan ‘tonggak kecil’,” katanya.
Bagi mereka yang belum mampu membeli rumah sebelum usia 40, “merawat diri” menjadi pelarian yang menyenangkan.
Bagi yang tidak menikah atau punya anak, perayaan bisa bergeser ke pesta putus cinta, ulang tahun hewan peliharaan, atau rutinitas perawatan diri.
“Kami melihat tren seperti ‘pesta pengunduran diri’ di China, ‘pesta perceraian’ di AS dan Eropa, hingga orang yang menghadiahi diri mereka sendiri perhiasan mewah,” ujar Smith.
Generasi milenial dan Gen Z juga menghidupkan kembali kebiasaan masa kecil melalui “kidulting” — membeli mainan atau koleksi versi dewasa seperti LEGO. Ada yang menghabiskan hingga 1.000 dolar AS (sekitar Rp16,12 juta) untuk satu set.