
SELASA, 23 September 2025, menjadi hari bersejarah bagi diplomasi Indonesia. Sudah satu dekade terakhir Indonesia tidak diwakili langsung oleh presidennya di forum puncak dunia itu.
Pada hari itu, Presiden Indonesia Prabowo Subianto berpidato di depan Sidang Majelis Umum PBB (SMU-PBB).
Banyak pihak mengapresiasi pidato itu terutama tentang pembelaan Indonesia yang konsisten terhadap eksistensi negara Palestina.
Pembelaan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina bukan hal baru. Sudah sejak isu Palestina dibawa ke PBB pada 1948 dan Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1988, tak pernah sekalipun Indonesia tidak membela Palestina.
Semua resolusi PBB selalu didukung Indonesia. Bahkan Indonesia menjadi negara sponsor untuk resolusi-resolusi mengecam Israel.
Indonesia begitu konsisten membela Palestina. Namun, dalam pidato Prabowo di SMU-PBB minggu lalu, ada satu hal baru: Prabowo dengan tegas menyatakan Indonesia akan mengakui Israel jika Israel mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Ini sejarah. Ini tantangan diplomasi Indonesia ke depan, terutama dalam mencari solusi permanen atas konflik Israel-Palestina berbasis two-state solution.
Baca juga: Pidato Presiden Prabowo Subianto
Jika dirunut balik sejarah, konsistensi sikap Indonesia ini tertancap awal pada pidato Presiden Soekarno di depan SMU-PBB 1960.
Dalam pidatonya berjudul To Build the World Anew, Bung Karno menawarkan pedoman berisi nilai-nilai universal yang dapat mengurangi ketegangan akibat rivalitas ideologis saat itu.
Pidato Bung Karno menyuarakan jeritan hati negara berkembang yang masih terjajah dan baru merdeka.
Pidato itu menguntai benang merah sejarah dari Bandung sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 hingga ke PBB, New York, 1960, yang menyuarakan sikap politik anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Lantas apa kaitannya dengan Palestina? Jika Palestina masih belum merdeka di tanah airnya sendiri, itu adalah “hutang sejarah” Indonesia.
Dalam konteks melunasi hutang sejarah itulah kiranya Prabowo menyampaikan sikap tegasnya dengan menggunakan gaya diplomasi “tit for tat” (sikap politik setimpal dengan tindakan politik lawan).
Ini tanda keseriusan Indonesia untuk ikut menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Muncul pertanyaan: landasan apa yang menjadi langkah diplomasi Indonesia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina?