JAMBI, KOMPAS.com - Hutan adat seluas 645 hektar di Desa Hiang, Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci, kini menjadi harapan baru untuk keberlanjutan ekosistem hutan serta pelestarian tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat adat.
Hutan ini dikenal dengan nama Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua.
Hutan yang dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kerinci ini beririsan langsung dengan kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan berbatasan dengan sawah serta perkebunan milik masyarakat.
Dari permukiman, hutan ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat hingga tiba di pintu air Sungai Tanaka yang menjadi sumber irigasi sawah masyarakat.
Waktu tempuhnya tidak lebih dari lima menit.
Baca juga: Mandi Balimau Kenduri Sko Kerinci, Kesucian Batin hingga Ruang Maaf Tak Terbatas
Untuk menjelajahi kawasan vegetasi hutan, akses hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, melalui perkebunan masyarakat dalam waktu sekitar 15 menit.
Tanaman kopi dan pohon durian menjadi penanda batas antara hutan adat dan perkebunan masyarakat.
Untuk mengeksplorasi potensi sumber kekayaan hayati, pengunjung dapat menyusuri aliran sungai alami yang memiliki medan berbatu dan terjal.
Keasrian Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua masih terjaga dengan baik, menjadikannya sebagai paru-paru kecil bagi masyarakat Jambi, khususnya Kerinci.
Keberadaan Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) berperan penting dalam menjaga hutan ini agar tidak dijamah oleh para perambah, serta melestarikan identitas masyarakat adat yang telah dijaga turun temurun.
Dahyar, seorang warga Betung Kuning dan anggota LPHA, merupakan sosok yang memahami sepenuhnya hutan adat mereka.
Pria berusia 65 tahun ini menekankan pentingnya merawat hutan, yang memberikan banyak manfaat, termasuk berbagai jenis tumbuhan yang digunakan masyarakat sebagai obat-obatan tradisional dan untuk kebutuhan upacara adat.
"Yo biasonyo (biasanya) kami pakai ini (daun sirih) untuk masuk angin, buat nurunin panas. Caronyo (caranya) ditempel di kening (kompres) atau dioles diperut (pereda masuk angin)," ungkap Dahyar saat mendampingi Kompas.com menjelajahi hutan pada Sabtu (29/6/2025).
Dahyar juga mengolah "limbah" hutan, seperti ijuk dari Batang Bayeh yang sudah tumbang.
Ijuknya yang melekat di batang dapat diolah menjadi sapu ijuk yang memiliki nilai jual tinggi. "Saya bisa buat (sapu ijuk) kalau ada yang pesan. Harganya (ukuran besar) Rp50 ribu," tambahnya.