KOMPAS.com - Gerakan protes masyarakat Perancis terhadap pemerintah mengakibatkan lalu lintas berhenti serta kepemimpinan Presiden Perancis Emmanuel Macron mencapai titik kritis.
Gerakan yang terjadi pada Rabu (10/9/2025) diketahui lahir dari kekecewaan politik dan ekonomi masyarakat.
Bertajuk "Block Everything" atau Bloquons Tout, ini merupakan gerakan akar rumput yang berawal dari media sosial.
Hampir 200 orang ditangkap pada jam-jam awal protes, jauh lebih banyak dari jumlah sebelumnya, yakni 95 orang.
Pemerintah Perancis diketahui mengerahkan 80.000 polisi di seluruh negeri guna meredam aksi demonstran.
Sementara itu, para pengunjuk rasa di Paris dan sekitarnya membangun barikade dari tempat sampah, memblokir sekolah dan jalan, serta melempari polisi dengan sampah.
Lantas, apa itu Block Everything dan mengapa terjadi demo di Perancis?
Baca juga: Dokter Perancis Dituduh Racuni Puluhan Pasien demi Pamerkan Keterampilan Resusitasi
Dikutip dari TRTWorld, Rabu (10/9/2025), gerakan “Block Everything” mulanya digagas oleh kelompok haluan kanan, namun cepat meluas hingga mencakup kelompok kiri dan kiri jauh.
Kemunculannya terjadi di tengah ketidakstabilan politik Perancis. Puncaknya, Perdana Menteri Francois Bayrou digulingkan setelah gagal mempertahankan dukungan dalam mosi tidak percaya terkait kebijakan penghematan.
Penggantinya, Sebastien Lecornu, menjabat di tengah gelombang ketidakpercayaan publik.
Ia merupakan perdana menteri ketujuh yang dipilih sejak Macron berkuasa pada 2017, sekaligus yang ketiga hanya dalam kurun waktu satu tahun.
Lecornu merupakan politikus konservatif sekaligus orang dekat Macron. Ia sebelumnya menjabat sebagai menteri pertahanan.
Pada Rabu, ia resmi masuk ke kediaman perdana menteri setelah bertemu dengan Bayrou yang baru saja dilengserkan.
Baca juga: Streamer Asal Perancis Ditemukan Tewas di Lokasi Syuting, Kerap Unggah Konten Kekerasan
Akar kerusuhan aksi tersebut dipicu akibat kemarahan atas rencana pemotongan anggaran, kesenjangan ekonomi yang semakin memburuk, serta kekhawatiran akan mundurnya kualitas demokrasi.
Sentimen tersebut mengingatkan pada protes bernama Rompi Kuning yang pernah terjadi di Perancis pada 2018. Namun, demonstrasi kali ini lebih luas dan beragam.