Dari sana, Edufa—pusat terapi yang ia rintis—terus tumbuh. Cabang hadir di Palembang, Medan, Lampung, Cimahi, Yogyakarta, Solo, dan banyak kota lain.
Hingga kini, lebih dari 30 cabang berdiri di seluruh Indonesia. Pada September 2025, Edufa akan hadir di Pontianak.
“Banyak cabang itu berdiri bukan karena promosi, tapi karena kepercayaan. Karyawan dan konselor ikut urunan untuk buka cabang baru. Mereka percaya dengan filosofi yang dibangun,” kata Ketua Asosiasi Terapis Perilaku Indonesia (ATePI) ini.
Saat ini, lebih dari 500 anak rutin menjalani terapi di Edufa. Sekitar 80 lainnya mendapat pendampingan home based. Metode ABA menjadi andalan, dengan pendekatan perilaku konsisten, konsekuensi jelas, serta keterlibatan aktif orangtua.
“Yang paling menyentuh bagi saya adalah saat mendengar suara pertama dari anak-anak non-verbal. Ada yang dulu tak bisa bicara, sekarang jadi finalis olimpiade matematika. Itu rasanya luar biasa,” ujar Ernie dengan mata berbinar.
Baginya, setiap pukulan, cakaran, atau teriakan dari anak-anak bukan alasan untuk menyerah.
“Itu pukulan anak surga. Kalau saya bisa membantu mereka bicara, mandiri, itu kebahagiaan terbesar,” tuturnya.
Dari perjalanan panjang itu, Ernie belajar bahwa makna rezeki bukan sekadar uang.
“Dulu kami pikir rezeki itu uang. Sekarang rezeki itu sehat, anak-anak sehat, itu kebahagiaan luar biasa,” ucap pimpinan Edufa pusat ini.
Karena itulah, ia berusaha tidak memberatkan orangtua siswa. Edufa menerapkan sistem subsidi silang. Bagi keluarga mampu, biaya terapi penuh berlaku. Namun, bagi yang kurang mampu, ada jalan lain: belajar dan terlibat.
“Kalau nggak punya uang, orangtua harus sediakan waktu, saya yang akan ajarkan para orangtua ini. Karena tanpa keterlibatan mereka, anak tidak akan berkembang maksimal,” jelas Erni.
Ke depan, Erni ingin memperluas fokus pada remaja dan dewasa dengan autisme. Ia tengah menyiapkan balai latihan kerja agar mereka bisa belajar keterampilan, menghasilkan produk, hingga memperoleh penghasilan sendiri.
“Kami ingin anak-anak ini mandiri. Bukan hanya terapi, tapi bisa berkarya seperti melukis, memasak, membuat kerajinan. Kalau tidak ditolong, mereka hanya akan tiduran di sofa. Tapi kalau diberi kesempatan, mereka bisa bersinar,” ucapnya penuh keyakinan.
Perjalanan Ernie yang tidak mudah, menginspirasi banyak orang. Namun ucapan terima kasih dari para orangtua menjadi penghargaan terindah bagi dirinya.
“Makasih Bu Ernie, anak saya sudah bisa bicara, bisa sekolah.” Bagi Erni, kalimat sederhana seperti itu lebih berharga daripada penghargaan apa pun.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini