JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI), Mahawan Karuniasa, menilai pemerintah perlu menyederhanakan regulasi untuk mengatasi kurangnya pengawas dampak lingkungan. Keterbatasan jumlah sumber daya manusia (SDM) dapat diatasi dengan membangun atau mengatur dengan sistem pelaporan yang lebih mudah.
"Pelaporan disederhanakan, jadi yang melapornya lebih mudah. Karena yang melapornya lebih mudah, mereka yang mengawasinya lebih ringan dengan sedikit jumlah orang bisa tertangani," ungkap Mahawan saat dihubungi, Senin (1/9/2025).
Hal ini disampaikannya, merespons pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, hanif Faisol Nurofiq, yang menyebut jumlah pengawas lingkungan masih sangat terbatas dibandingkan skala masalah yang harus ditangani dari jutaan unit usaha.
Baca juga: Menteri LH Keluhkan Minimnya SDM untuk Awasi Dampak Lingkungan, Cuma 1.100 se-Indonesia
Minimnya teknologi juga bisa memanfaatkan kerja sama dengan perguruan tinggi. Mahawan menyebutkan, setidaknya ada lebih dari 80 program studi dan jurusan lingkungan yang mampu membantu pemerintah.
Kedua, aspek strategi di mana sistem pengawasannya diatur berdasarkan prioritas risiko. Sehingga, dampak lingkungan yang dinilai berisiko rendah tak melulu harus diawasi secara intensif. Sebaliknya, petugas bisa memprioritaskan operasional usaha yang berisiko tinggi terhadap lingkungan.
"Mending diarahkan mengawasi yang risiko dampak lingkungan yang tinggi, misalkan seperti itu. Misalkan industri kimia, tambang dan seterusnya. Yang dampaknya lebih rendah ya enggak ada pilihan lain karena tenaganya terbatas," tutur dia.
Pada aspek ini, pemerintah harus mengajak pasar turut mengawasi unit usaha apabila operasionalnya tidak ramah lingkungan. Misalnya saja, tidak diberikannya sertifikasi pada perusahaan yang berdampak pada lingkungan sekitar.
"Termasuk juga sistem informasinya, misalkan perusahaan-perusahaan dipaparkan di sosial media atau dengan sistem informasi yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup sehingga mereka punya strategi untuk bisnis, reputasi, punya risiko pasar pada saat mereka tidak patuh, tidak sadar lingkungan yang mengawasi adalah pasar," jelas Mahawan.
Terakhir, aspek sosial kultural yakni mendorong didorong untuk membangun budaya yang ramah lingkungan. Dengan SDM pengawasan yang terbatas KLH bisa meminalkan perusahaan yang nakal. Selain itu, dia menyarankan agar KLH melibatkan organisasi non pemerintah atau NGO serta masyarakat sekitar unit usaha.
"Tidak harus (pengawasan) secara formal hanya terhadap pengawas, tetapi secara informal, sosial kultural itu masyarakat dan NGO bisa. NGO yang mendanai ada, masyarakat itu lebih senang tidak terdampak, jadi terdampak sedikit mereka berteriak itu kan bisa menjadi bentuk pengawasan," ucap Mahawan.
Baca juga: Karhutla di Kalbar, Tropenbos Indonesia Beberkan Kerugian Ekonomi dan Dampak ke Ekologi
Diberitakan sebelumnya, Hanif mengaku kewalahan mengawasi dampak lingkungan dengan SDM yang hanya 1.100 orang. Jumlah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) bidang lingkungan hidup hanya sekitar 250 orang di seluruh Indonesia.
"Kesenjangan yang cukup besar antara unit usaha yang kemudian telah mendapatkan persetujuan lingkungan dengan jumlah SDM kita yang tidak terlalu memadai," tutur Hanif, Kamis (28/8/2025).
Selain keterbatasan SDM, minimnya dukungan teknologi juga menjadi kendala dalam memastikan kepatuhan pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan. Hanif mengatakan, dengan keterbatasan itu, pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan secara mendetail maupun penegakan hukum secara menyeluruh dan adil.
"Sehingga wajar kalau hari ini, ibarat kami melihat ember yang banyak lubang, ember seperti saringan itu. Lalu, dimasukkan air, menterinya harus menutup yang mana dulu? Ini kami tidak bisa membayangkan. Akhirnya, maka apa yang bisa dilakukan menteri hari ini hanya sebatas yang ada dalam jangkauan tangan," papar Hanif.
Baca juga: UMKM Terkendala Laporan Keberlanjutan, dari Bimbingan hingga Regulasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya