Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diet Plastik Lewat Toko Curah

Kompas.com - 06/09/2025, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

“Pengunjung biasanya turis. Mereka enggak bawa wadah. Kadang bilang ‘waduh kok suwe banget mas, aku selak lunga (waduh kok lama, saya harus segera pergi)’. Mereka terburu waktu, jadi repot kalau harus nimbang dulu,” ceritanya.

Baca juga: Tahun Ini, Menteri LH Wajibkan Produsen Kelola Sampah Plastik Sendiri

Untuk mengatasinya, Javapari Bulkstore memberi potongan harga bagi pembeli yang membawa botol bekas. “Kalau botol baru harus beli lagi, malah nambah sampah. Jadi kami dorong pakai wadah bekas,” ujarnya.

Toko curah seperti Vert Terre dan Javapari Bulkstore merupakan salah satu contoh bisnis melawan kepraktisan. Pelanggan harus rela kehilangan kepraktisannya dari kemasan plastik atau saset saat membeli keperluannya.

Akan tetapi, di balik kepraktisan kemasan plastik atau saset, terdapat bahaya yang besar bagi lingkungan. Saset menjadi beban lingkungan karena terdiri dari berbagai jenis plastik dan lapisan foil. Hal ini membuatnya sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah.

Seringnya, kemasan saset berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) karena tidak memiliki nilai jual. Berakhirnya saset di TPA maupun lingkungan terbuka berpotensi turut mencemari badan-badan air seperti sungai, hingga pantai. 

Di Indonesia, jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Ecoton, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Trash Hero Indonesia, dan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) melakukan brand audit di 34 titik lokasi audit dengan saset yang terkumpul sebanyak 9.698. 

Hasilnya, terdapat lima produsen pencemar saset terbanyak, yaitu, Wings dengan 1.251 saset, Salim Group dengan 672 saset, Mayora Indah dengan 629 saset, Unilever dengan 603 saset, dan PT Santos Jaya Abadi dengan 454 saset.

Baca juga: Riset Ungkap 88 Titik Timbunan Sampah di Kali Surabaya, Dikuasai Plastik

Demi kurangi sampah

Dari sudut pandang konsumen, membeli produk isi ulang merupakan kesadaran untuk mengurangi sampah plastik. Bagi Indira Nurul Qomariyah (32), keputusan untuk beralih ke produk isi ulang lahir dari kesadaran lingkungan. Latar belakangnya di bidang biologi membuat ia akrab dengan isu ekologi, termasuk dampak serius sampah plastik. 

Sejak 2017, warga Depok, Jawa Barat ini, mulai membeli kebutuhan rumah tangga seperti sabun, sampo, detergen, minyak goreng, hingga bumbu dapur dalam skema isi ulang. 

Awalnya, dia membawa wadah sendiri ke toko. Beberapa waktu kemudian, dia mengenal layanan berbasis gawai bernama Siklus yang menawarkan jemput bola konsumen isi ulang ke rumah. 

“Itu malah bisa ke rumah, jadi kita nggak harus ke toko buat beli isi ulang. Kita tinggal sediakan wadah, nanti driver-nya datang untuk isi ulang,” kata Indira.

Selain lebih ramah lingkungan, skema isi ulang menurutnya juga lebih hemat. 

Baca juga: Plastik Rusak Lingkungan, tapi Subsidinya Diprediksi Naik 150 Miliar Dollar AS

“Kalau minyak goreng di pasaran bisa Rp 15.000 sampai Rp 18.000 per liter, kalau isi ulang cuma Rp 10.000 sampai Rp 12.000. Kalau sekali belanja di Siklus habis Rp 200.000, itu bisa buat enam bulan untuk sabun, sampo, detergen. Jadi buat saya sih lebih murah,” ungkapnya.

Akan tetapi, kebiasannya membeli produk curah harus terhenti sekitar setahun belakangan. Indira mengaku, kini ia tak lagi membeli produk curah dengan wadah guna ulang. Alasannya bukan karena enggan, melainkan aplikasi tersebut tak bisa lagi diakses. Dia sempat mencoba mencari toko isi ulang terdekat, namun lokasinya terlalu jauh. 

“Kalau cari tempat refill (isi ulang), adanya jauh banget di Kemang (Jakarta Selatan). Kalau saya ke sana buat refill, ongkosnya malah lebih mahal daripada isi ulangnya,” kata Indira

Indira percaya banyak konsumen lain sebenarnya tertarik belanja secara curah atau isi ulang. Menurutnya, jika toko curah tersedia lebih dekat dan skema isi ulang tersedia di banyak warung, akan lebih banyak masyarakat yang ikut serta. 

“Harapannya bisa lebih menjangkau sampai tingkat tapak. Selama ini kan yang pakai refill kebanyakan anak kota kelas menengah ke atas. Padahal, ibu-ibu di kampung juga pengin kalau aksesnya gampang,” ucapnya.

Baca juga: Perundingan Plastik Global Kritis, Negara Minyak Ganggu Konsensus

Beri “nyawa” kedua

Di Kota Solo, Jawa Tengah, ada komunitas bernama Joli Jolan yang fokus pada berbagi barang bekas layak pakai. Mereka berusaha menumbuhkan solidaritas sekaligus melawan pola konsumsi berlebihan.

Sejak Desember 2019, Joli Jolan menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengakses barang bekas yang masih bisa digunakan. Bertempat di sebuah rumah di Jalan Siwalan Nomor 1, Kerten, Kecamatan Laweyan, kegiatan itu berlangsung rutin setiap Sabtu pukul 10.00-13.00 WIB.

Di sana, siapa pun bisa datang mengambil pakaian, buku, peralatan rumah tangga, mainan, hingga perlengkapan sekolah. Semua gratis, syaratnya mendaftar sebagai anggota dan hanya boleh membawa pulang maksimal tiga barang setiap dua pekan sekali.

“Di Ruang Solidaritas Joli Jolan, semua punya hak yang sama untuk berdonasi dan mengambil barang,” kata salah satu inisiator Joli Jolan, Chrisna Canis Cara..

Komunitas ini pun mengampanyekan pentingnya memperpanjang usia pakai barang. Dengan begitu, barang yang tak lagi dipakai tidak serta-merta berakhir sebagai sampah yang berpotensi mencemari lingkungan.

Baca juga: Plastik Bikin Boncos, Kerugiannya Tembus 1,5 Triliun Dolar AS

Joli Jolan memiliki slogan “ambil sesuai kebutuhanmu, sumbangkan sesuai kemampuanmu”. Aturan maksimal tiga barang per dua pekan dibuat bukan tanpa alasan.

“Pertimbangannya adalah orang-orang mengambil barang harus sesuai kebutuhannya, bukan keinginan,” jelas Chrisna.

Inisiator Joli Jolan lainnya, Septina Setyaningrum, mengatakan bahwa kehadiran Joli Jolan menjadi upaya untuk melawan konsumerisme berlebihan yang tidak bertanggung jawab. Konsumerisme tersebut tak lepas dari perkembangan teknologi saat ini seperti internet, yang membuat membeli pakaian sangat mudah.

Padahal, produksi pakaian yang beredar di pasaran pun bisa jadi tidak ramah lingkungan. Untuk membuat satu potong pakaian saja, butuh air berliter-liter dan menghasilkan pencemaran.

Belum lagi bila pakaian yang dibeli tidak awet. Hanya dipakai beberapa kali saja langsung dibuang, akhirnya menjadi sampah dan mencemari lingkungan.

Baca juga: Laporan OECD: Tanpa Kebijakan Tegas, Asia Tenggara Bakal Alami Ledakan Sampah Plastik

Guna ulang

Deputy Director Dietplastik Indonesia Rahyang Nusantara menilai, toko curah sebenarnya menyimpan potensi besar untuk mendorong budaya guna ulang. Namun hingga kini, inisiatif itu lebih banyak bertahan sebagai gerakan masyarakat, bukan bagian dari sistem yang terintegrasi.

“Sekarang itu kelihatannya biasa-biasa, tapi kalau pemerintah serius mendorong produsen menjual produknya lewat sistem guna ulang atau toko curah, dampaknya bisa signifikan,” kata Rahyang kepada Kompas.com

Menurutnya, potensi pengurangan sampah akan jauh lebih besar jika sistem ini diperluas dan harganya benar-benar kompetitif dengan produk saset. Rahyang menekankan, pemerintah bisa menjadi aktor kunci dalam mengembangkan ekosistem guna ulang.

Di samping itu, hambatan lain dalam mengimplementasikan budaya guna ulang adalah di level produsen. Menurut Rahyang, mereka lebih nyaman dengan profit dari plastik sekali pakai ketimbang berinvestasi untuk membuat sistem guna ulang.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Industri Semen Tekan Emisi 21 Persen, Bidik Semen Hijau Nol Karbon 2050
Industri Semen Tekan Emisi 21 Persen, Bidik Semen Hijau Nol Karbon 2050
Swasta
Inquirer ESG Edge Awards 2025: Apresiasi Perusahaan hingga UMKM yang Bawa Dampak Nyata
Inquirer ESG Edge Awards 2025: Apresiasi Perusahaan hingga UMKM yang Bawa Dampak Nyata
Swasta
Tangkap dan Simpan Emisi CO2 di Bawah Tanah? Riset Ungkap Cuma Bisa Dilakukan 200 Tahun
Tangkap dan Simpan Emisi CO2 di Bawah Tanah? Riset Ungkap Cuma Bisa Dilakukan 200 Tahun
LSM/Figur
Serangga Menghilang Cepat, Bahkan di Ekosistem Alami yang Tak Tersentuh
Serangga Menghilang Cepat, Bahkan di Ekosistem Alami yang Tak Tersentuh
Pemerintah
Masa Depan Pedesaan Lebih Terjamin Berkat Hutan dan Kearifan Lokal
Masa Depan Pedesaan Lebih Terjamin Berkat Hutan dan Kearifan Lokal
Pemerintah
Pencemaran Sungai Jakarta, UMKM Diminta Segera Urus NIB dan SPPL
Pencemaran Sungai Jakarta, UMKM Diminta Segera Urus NIB dan SPPL
Pemerintah
Hari Kelebihan Sampah Plastik 2025: Dunia Gagal Kelola Sepertiga Produksi
Hari Kelebihan Sampah Plastik 2025: Dunia Gagal Kelola Sepertiga Produksi
LSM/Figur
Anggaran Naik, KLH Bakal Fokus Atasi Sampah dan Iklim
Anggaran Naik, KLH Bakal Fokus Atasi Sampah dan Iklim
Pemerintah
Sungai Jakarta 'Cemar Berat', Limbah Domestik Sumber Utamanya
Sungai Jakarta "Cemar Berat", Limbah Domestik Sumber Utamanya
LSM/Figur
TNUK Tegaskan, JRSCA Bukan Habitat Buatan bagi Badak Jawa
TNUK Tegaskan, JRSCA Bukan Habitat Buatan bagi Badak Jawa
Pemerintah
Peta Kawasan HCV Dibuat, Atasi Masalah Fragmentasi Habitat Satwa
Peta Kawasan HCV Dibuat, Atasi Masalah Fragmentasi Habitat Satwa
LSM/Figur
KLH Dapat Anggaran Rp 1,3 T untuk Belanja Pegawai hingga Pengelolaan Sampah
KLH Dapat Anggaran Rp 1,3 T untuk Belanja Pegawai hingga Pengelolaan Sampah
Pemerintah
Peneliti: Penghitungan Karbon Secara Mandiri oleh Perusahaan Tak Akurat
Peneliti: Penghitungan Karbon Secara Mandiri oleh Perusahaan Tak Akurat
LSM/Figur
PBB: Karhutla akibat Perubahan Iklim Sumbang Polusi Udara pada 2024
PBB: Karhutla akibat Perubahan Iklim Sumbang Polusi Udara pada 2024
Pemerintah
Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan, Ini Wilayah yang Bakal Dilanda Hujan
Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan, Ini Wilayah yang Bakal Dilanda Hujan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau