JOGJA/SOLO, KOMPAS.com – Di dalam ruangan toko berukuran sekitar 16 meter persegi beralas vynil dengan motif kayu, Ratri Sekar Wening (27), duduk menunggu pembeli, Senin (28/7/2025) sore. Di sekelilingnya terjajar rapi rak-rak kayu berisi botol kaca, toples kaca, tas, sedotan stainless steel, hingga keranjang kayu.
Di toples kaca, tertata sabun-sabun batang bermacam warna. Sedang di botol kaca terdapat cairan deterjen hingga sampo yang dipilah berdasarkan jenisnya. Sementara di keranjang kayu, ada barang-barang tak biasa macam spons gambas hingga cotton bud kayu.
“Di sini yang paling laris adalah body care, seperti sabun mandi dan sampo. Mungkin bisa 60-70 persen,” kata Ratri saat disambangi Kompas.com.
Di toko yang berlokasi di Jalan Kaliurang Km 17A, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu, setiap produk yang dijual tidak dibungkus kemasan plastik. Pun, toko ini tidak menyediakan kantong plastik. Para pembeli perlu membawa kantong belanjanya sendiri jika ingin belanja di toko bernama Vert Terre ini.
Toko yang didirikan Ratri bersama sahabatnya, Tiffani Rizki Putri Baihaqi, ini mengusun konsep bulk store, alias toko curah. Mereka menjual berbagai kebutuhan sehari-hari tanpa kemasan sekali pakai. Ketika berbelanja di sana, pembeli perlu membawa wadah sendiri, menakar sesuai kebutuhan, dan membawanya pulang.
Baca juga: Peta Global Ungkap Wilayah Laut Paling Terancam Sampah Plastik
Setidaknya, ada tiga plastik yang bisa dihindari saat berbelanja barang dari toko curah: plastik kemasan, saset, dan kantong sekali pakai.
Alasan Ratri membuka toko curah tak lepas dari kegelisahannya mengenai sampah plastik yang mencemari laut. Suatu waktu, ketika masih duduk di bangku kuliah, Ratri dan Tiffani melihat video lautan yang dipenuhi sampah plastik. Dia merasa miris karean plastik itu dimakan ikan dan ada penyu yang hidungnya tersumbat sedotan plastik.
“Ternyata sampah plastik enggak cuma di darat, tapi sudah sampai laut. Dari situ aku sama Tiffani mulai belajar dan coba mengurangi plastik,” kata Ratri.
Mereka lantas memutuskan untuk berhenti menggunakan plastik sekali pakai, termasuk menggunakan sedotan stainless steel sebagai pengganti sedotan plastik. Gaya hidup mereka pun diperhatikan kawan sekitarnya. Banyak yang tanya di mana dapat membeli sedotan stainless steel.
Ratri dan Tiffani pun melihat ada peluang bisnis di sana. Mereka mulai menawarkan sedotan stainless steel sekaligus mempromosikannya melalui media sosial (medsos). Permintaan pun semakin banyak dan barang yang dia jual semakin beragam. Setelah berdiskusi panjang, keduanya memutuskan untuk membuka toko curah dan produk guna ulang pada 2018.
“Di medsos mungkin kita bisa jelasin produknya atau foto. Nah menurut aku sama Tiffani memang butuh kayak kehadiran langsung agar pelanggan bisa datang ke toko. Terus melihat sendiri produknya kayak gimana. Menurutku, konsep ramah lingkungan enggak cukup online. Orang harus bisa pegang produk, tanya langsung, merasa terhubung,” kata Ratri.
Di Vert Terre pula, mereka membuka kelas belajar seperti membuat kertas daur ulang, merangkai bunga ramah lingkungan, hingga membuat lilin natural.
Baca juga: Stok Ikan di Laut Jawa Turun Drastis, Pencemaran Plastik Salah Satu Penyebabnya
“Kami ingin menunjukkan kalau ramah lingkungan itu menyenangkan, bukan menakutkan,” katanya.
Kegelisahan Ratri dan Wawan bukan tanpa sebab. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), proporsi sampah plastik terus naik dari tahun ke tahun.
Pada 2019, komposisi sampah plastik secara nasional adalah 15,88 persen. Lima tahun kemudian, komposisi sampah plastik meningkat menjadi hampir seperlima dari total timbulan sampah nasional yakni 19,73 persen.
Riset Ecoton pada 2022 juga menunjukkan, bukan hanya plastik, mikroplastik telah menjadi salah satu pencemar utama di sungai. Partikel berukuran kurang dari 5 milimeter ini bisa menjadi ancaman kesehatan serius bagi makhluk hidup, termasuk manusia.
Studi Ecoton menemukan, ada 97 mikroplastik per 100 liter air di Sungai Bengawan Solo, 121 mikroplastik per 100 liter air di Citarum, 198 mikroplastik per 100 liter air di Ciliwung, serta 107 mikroplastik per 100 liter air di Brantas.
Ratri menilai, di toko curahnya, konsumen bisa membeli sesuai kebutuhan tanpa terikat minimal pesanan, mulai dari jumlah kecil hingga skala besar. Dia menuturkan, produk-produk yang dijual di Vert Terre mayoritas buatan usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang terbuat dari bahan alami.
Bahan baku tersebut memiliki beberapa keunggulan. Deterjen alami, misalnya, mampu menjaga serat pakaian agar tidak cepat rusak, dan lebih ramah bagi mesin cuci.
Selain itu, lanjutnya, toko curah bisa membantu konsumen mengurangi timbulan sampah karena pembelian bisa dilakukan menggunakan wadah sendiri. Banyak produk juga bersifat guna ulang atau mudah terurai, sehingga tidak membebani biaya pembuangan sampah.
Baca juga: Gagal Sepakat, Pembicaraan Perjanjian Plastik Dunia Berakhir Tanpa Solusi
Kisah lain datang dari Hermawan Nugroho (39), pemilik Javapari Bulkstore, toko curah di Jalan Taman Sari Nomor 36, Kota Jogja, DIY. Awalnya, pria yang akrab disapa Wawan ini beserta istrinya resah melihat tumpukan sampah plastik di Yogyakarta.
Dari keresahan itu, mereka mengikuti berbagai komunitas di Jogja untuk sebisa mungkin mengurangi sampah dan mengolah sendiri sampahnya.
“Kami belajar mengolah sampah rumah tangga, bikin kompos, cuci plastik buat dipakai ulang. Dari situ tumbuh kebiasaan,” ujar Wawan.
Kebiasaan kecil itu lambat laun membentuk pola hidup baru. Pasangan ini kemudian makin banyak berjejaring dengan komunitas peduli lingkungan lain.
Karena jejaring itu, mereka tergerak untuk memasarkan produk-produk dari kawan-kawannya di komunitas itu. Mereka memberanikan diri membuka gerai kecil yang menyatu dengan sebuah kedai kopi di kawasan wisata Taman Sari di dekat Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Kawasan itu merupakan salah satu jujugan wisatawan ketika menyambangi Jogja.Pemilihan tempat itu bukan tanpa sebab. Wawan merupakan kepala kedai kopi tersebut. Dia memanfaatkan ruang yang tak dimanfaatkan untuk membuka Javapari Bulkstore pada 2020.
Baca juga: Bahaya di Balik Plastik yang Jadi Andalan, Ada Risiko Kanker hingga Fertilitas
Dari sana, mereka mulai menjual produk organik seperti beras mentik wangi, beras hitam, tepung lokal, kerupuk organik, hingga sabun dan sampo dari teman-teman komunitas dan UMKM lainnya.
Langkah itu tentu bukan tanpa risiko. Wawan mengaku, keputusan membuka toko curah terasa seperti perjudian besar, apalagi saat itu pandemi Covid-19 datang melanda.
“Kalau dibilang gambling, iya, mas. Karena menurut kami niat baik harus dilakukan sesegera mungkin. Persoalan untung rugi dipikir belakangan,” kata dia
Di tengah pandemi, mereka bertahan dengan menjual produk melalui grup WhatsApp dan memanfaatkan jasa kurir. Seiring meredanya pandemi dan kunjungan wisatawan mulai pulih, penjualan di toko ikut terkerek.
Namun, toko yang bertempat di kawasan wisata menghadirkan tantangan tersendiri. Para pembeli menginginkan kepraktisan produk melalui kemasan plastik.
“Pengunjung biasanya turis. Mereka enggak bawa wadah. Kadang bilang ‘waduh kok suwe banget mas, aku selak lunga (waduh kok lama, saya harus segera pergi)’. Mereka terburu waktu, jadi repot kalau harus nimbang dulu,” ceritanya.
Baca juga: Tahun Ini, Menteri LH Wajibkan Produsen Kelola Sampah Plastik Sendiri
Untuk mengatasinya, Javapari Bulkstore memberi potongan harga bagi pembeli yang membawa botol bekas. “Kalau botol baru harus beli lagi, malah nambah sampah. Jadi kami dorong pakai wadah bekas,” ujarnya.
Toko curah seperti Vert Terre dan Javapari Bulkstore merupakan salah satu contoh bisnis melawan kepraktisan. Pelanggan harus rela kehilangan kepraktisannya dari kemasan plastik atau saset saat membeli keperluannya.
Akan tetapi, di balik kepraktisan kemasan plastik atau saset, terdapat bahaya yang besar bagi lingkungan. Saset menjadi beban lingkungan karena terdiri dari berbagai jenis plastik dan lapisan foil. Hal ini membuatnya sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah.
Seringnya, kemasan saset berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) karena tidak memiliki nilai jual. Berakhirnya saset di TPA maupun lingkungan terbuka berpotensi turut mencemari badan-badan air seperti sungai, hingga pantai.
Di Indonesia, jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Ecoton, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Trash Hero Indonesia, dan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) melakukan brand audit di 34 titik lokasi audit dengan saset yang terkumpul sebanyak 9.698.
Hasilnya, terdapat lima produsen pencemar saset terbanyak, yaitu, Wings dengan 1.251 saset, Salim Group dengan 672 saset, Mayora Indah dengan 629 saset, Unilever dengan 603 saset, dan PT Santos Jaya Abadi dengan 454 saset.
Baca juga: Riset Ungkap 88 Titik Timbunan Sampah di Kali Surabaya, Dikuasai Plastik
Dari sudut pandang konsumen, membeli produk isi ulang merupakan kesadaran untuk mengurangi sampah plastik. Bagi Indira Nurul Qomariyah (32), keputusan untuk beralih ke produk isi ulang lahir dari kesadaran lingkungan. Latar belakangnya di bidang biologi membuat ia akrab dengan isu ekologi, termasuk dampak serius sampah plastik.
Sejak 2017, warga Depok, Jawa Barat ini, mulai membeli kebutuhan rumah tangga seperti sabun, sampo, detergen, minyak goreng, hingga bumbu dapur dalam skema isi ulang.
Awalnya, dia membawa wadah sendiri ke toko. Beberapa waktu kemudian, dia mengenal layanan berbasis gawai bernama Siklus yang menawarkan jemput bola konsumen isi ulang ke rumah.
“Itu malah bisa ke rumah, jadi kita nggak harus ke toko buat beli isi ulang. Kita tinggal sediakan wadah, nanti driver-nya datang untuk isi ulang,” kata Indira.
Selain lebih ramah lingkungan, skema isi ulang menurutnya juga lebih hemat.
Baca juga: Plastik Rusak Lingkungan, tapi Subsidinya Diprediksi Naik 150 Miliar Dollar AS
“Kalau minyak goreng di pasaran bisa Rp 15.000 sampai Rp 18.000 per liter, kalau isi ulang cuma Rp 10.000 sampai Rp 12.000. Kalau sekali belanja di Siklus habis Rp 200.000, itu bisa buat enam bulan untuk sabun, sampo, detergen. Jadi buat saya sih lebih murah,” ungkapnya.
Akan tetapi, kebiasannya membeli produk curah harus terhenti sekitar setahun belakangan. Indira mengaku, kini ia tak lagi membeli produk curah dengan wadah guna ulang. Alasannya bukan karena enggan, melainkan aplikasi tersebut tak bisa lagi diakses. Dia sempat mencoba mencari toko isi ulang terdekat, namun lokasinya terlalu jauh.
“Kalau cari tempat refill (isi ulang), adanya jauh banget di Kemang (Jakarta Selatan). Kalau saya ke sana buat refill, ongkosnya malah lebih mahal daripada isi ulangnya,” kata Indira
Indira percaya banyak konsumen lain sebenarnya tertarik belanja secara curah atau isi ulang. Menurutnya, jika toko curah tersedia lebih dekat dan skema isi ulang tersedia di banyak warung, akan lebih banyak masyarakat yang ikut serta.
“Harapannya bisa lebih menjangkau sampai tingkat tapak. Selama ini kan yang pakai refill kebanyakan anak kota kelas menengah ke atas. Padahal, ibu-ibu di kampung juga pengin kalau aksesnya gampang,” ucapnya.
Baca juga: Perundingan Plastik Global Kritis, Negara Minyak Ganggu Konsensus
Di Kota Solo, Jawa Tengah, ada komunitas bernama Joli Jolan yang fokus pada berbagi barang bekas layak pakai. Mereka berusaha menumbuhkan solidaritas sekaligus melawan pola konsumsi berlebihan.
Sejak Desember 2019, Joli Jolan menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengakses barang bekas yang masih bisa digunakan. Bertempat di sebuah rumah di Jalan Siwalan Nomor 1, Kerten, Kecamatan Laweyan, kegiatan itu berlangsung rutin setiap Sabtu pukul 10.00-13.00 WIB.
Di sana, siapa pun bisa datang mengambil pakaian, buku, peralatan rumah tangga, mainan, hingga perlengkapan sekolah. Semua gratis, syaratnya mendaftar sebagai anggota dan hanya boleh membawa pulang maksimal tiga barang setiap dua pekan sekali.
“Di Ruang Solidaritas Joli Jolan, semua punya hak yang sama untuk berdonasi dan mengambil barang,” kata salah satu inisiator Joli Jolan, Chrisna Canis Cara..
Komunitas ini pun mengampanyekan pentingnya memperpanjang usia pakai barang. Dengan begitu, barang yang tak lagi dipakai tidak serta-merta berakhir sebagai sampah yang berpotensi mencemari lingkungan.
Baca juga: Plastik Bikin Boncos, Kerugiannya Tembus 1,5 Triliun Dolar AS
Joli Jolan memiliki slogan “ambil sesuai kebutuhanmu, sumbangkan sesuai kemampuanmu”. Aturan maksimal tiga barang per dua pekan dibuat bukan tanpa alasan.
“Pertimbangannya adalah orang-orang mengambil barang harus sesuai kebutuhannya, bukan keinginan,” jelas Chrisna.
Inisiator Joli Jolan lainnya, Septina Setyaningrum, mengatakan bahwa kehadiran Joli Jolan menjadi upaya untuk melawan konsumerisme berlebihan yang tidak bertanggung jawab. Konsumerisme tersebut tak lepas dari perkembangan teknologi saat ini seperti internet, yang membuat membeli pakaian sangat mudah.
Padahal, produksi pakaian yang beredar di pasaran pun bisa jadi tidak ramah lingkungan. Untuk membuat satu potong pakaian saja, butuh air berliter-liter dan menghasilkan pencemaran.
Belum lagi bila pakaian yang dibeli tidak awet. Hanya dipakai beberapa kali saja langsung dibuang, akhirnya menjadi sampah dan mencemari lingkungan.
Baca juga: Laporan OECD: Tanpa Kebijakan Tegas, Asia Tenggara Bakal Alami Ledakan Sampah Plastik
Deputy Director Dietplastik Indonesia Rahyang Nusantara menilai, toko curah sebenarnya menyimpan potensi besar untuk mendorong budaya guna ulang. Namun hingga kini, inisiatif itu lebih banyak bertahan sebagai gerakan masyarakat, bukan bagian dari sistem yang terintegrasi.
“Sekarang itu kelihatannya biasa-biasa, tapi kalau pemerintah serius mendorong produsen menjual produknya lewat sistem guna ulang atau toko curah, dampaknya bisa signifikan,” kata Rahyang kepada Kompas.com.
Menurutnya, potensi pengurangan sampah akan jauh lebih besar jika sistem ini diperluas dan harganya benar-benar kompetitif dengan produk saset. Rahyang menekankan, pemerintah bisa menjadi aktor kunci dalam mengembangkan ekosistem guna ulang.
Di samping itu, hambatan lain dalam mengimplementasikan budaya guna ulang adalah di level produsen. Menurut Rahyang, mereka lebih nyaman dengan profit dari plastik sekali pakai ketimbang berinvestasi untuk membuat sistem guna ulang.
“Pemerintah terlalu fleksibel. Produsen jadi melihat bahwa ini tidak serius. Akibatnya, mereka lebih memilih bayar untuk daur ulang daripada membangun infrastruktur guna ulang,” ujar Rahyang.
Regulasi yang ada pun masih longgar. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019 sebetulnya menyebut penjualan curah sebagai salah satu contoh upaya guna ulang. Dalam beleid tersebut, produsen besar juga perlu menyusun peta jalan pengurangan sampah plastik. Namun, penegakannya dinilai masih kurang kuat.
Baca juga: Riset: Serat Plastik Dongkrak Emisi Industri Fashion 7,5 Persen
Bagi Rahyang, pengelolaan plastik harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Upaya pelarangan plastik sekali pakai perlu berjalan seiring dengan penguatan sistem guna ulang dan daur ulang. Sayangnya, saat ini Indonesia masih lebih fokus pada daur ulang, yang pelaksanaannya pun tidak maksimal.
Dia menyebut, ada produk-produk yang seharusnya bisa langsung digantikan dengan pilihan guna ulang seperti kantong plastik, sedotan, hingga alat makan.
“Sebetulnya tinggal di-listing saja produk mana yang bisa dilarang, dan mana yang diganti dengan guna ulang,” jelas Rahyang.
Rahyang menuturkan, harus ada kepastian hukum, dukungan pemerintah, serta keterlibatan produsen besar untuk merealisasikan ekosistem guna ulang.
Jika ekosistem itu terbentuk, toko curah bisa menjadi bagian dari sistem distribusi sehari-hari. Warung dan pasar tradisional pun bisa menjadi titik penting guna ulang, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia masih berbelanja di sana.
“Kalau pemerintah berani memberi kepastian hukum dan mendorong produsen besar, maka toko curah akan jadi bagian penting dari solusi,” papar Rahyang.
Baca juga: Tuntutan Lebih dari 600 LSM Global, Desak Perjanjian Plastik yang Ampuh
Menurut Rahyang, praktik tanpa sampah plastik sebenarnya udah hadir sejak lama di warung dan pasar tradisional. Masyarakat terbiasa membawa wadah sendiri ketika membeli kebutuhan sehari-hari.
“Kalau di pasar, dari dulu kita beli beras, gula, atau minyak goreng itu kan pakai bawa wadah yang kita bawa sendiri. Itu sebenarnya konsep guna ulang, hanya saja dulu kita tidak menyebutnya begitu,” ujar Rahyang.
Dia menilai, toko curah bisa menjadi bentuk modernisasi dari tradisi tersebut. Dengan sistem isi ulang, konsumen cukup membeli wadah di awal, lalu menggunakannya berulang kali untuk membeli produk rumah tangga seperti sabun, sampo, atau bahan pokok.
“Sebetulnya spektrum guna ulang itu sudah ada di kehidupan kita sehari-hari. Jadi kalau disebut gaya hidup baru atau hanya untuk kalangan menengah atas, menurut saya kurang tepat. Dari dulu kita sudah terbiasa dengan reuse (guna ulang) di warung dan pasar,” kata Rahyang.
Kebiasaan ini menunjukkan bahwa konsep toko curah bukan sekadar tren urban, melainkan bisa menjadi bagian dari budaya belanja masyarakat Indonesia. Potensi penerapan sistem isi ulang di pasar tradisional bahkan lebih besar, mengingat sekitar 70 persen masyarakat masih berbelanja di pasar.
Industri plastik, termasuk saset dan kemasan, selama ini cukup memberikan kontribusi pada perekonomian nasional. Pada 2022, sektor ini tercatat menyumbang sekitar 0,45 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) serta menyerap puluhan ribu tenaga kerja.
Baca juga: 568 Sarang Diteliti dan Terkuaklah, Banyak Anak Burung Mati Tercekik Plastik
Namun, manfaat ekonomi tersebut menyisakan biaya sosial yang tidak kecil. Laporan Dietplastik Indonesia tahun 2024 berjudul Evaluasi Dampak Lingkungan dan Sosial dari Pemanfaatan Sachet dan Pouch serta Ekspansi Solusi Guna Ulang di Jabodetabek mencatat, eksternalitas negatif dari sampah saset dan kemasan mencapai Rp 1,19 hingga Rp 1,78 triliun setiap tahun.
Biaya ini muncul akibat polusi udara dari pembakaran terbuka, risiko kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), penyakit kardiovaskular, hingga pencemaran mikroplastik yang sulit terurai. Jika dihitung secara menyeluruh, beban sosial dan lingkungan yang ditanggung masyarakat justru lebih besar dibandingkan nilai tambah ekonomi yang dihasilkan industri plastik sekali pakai.
Di sisi lain, solusi guna ulang menawarkan jalan keluar yang lebih berkelanjutan. Sistem isi ulang dan tukar kemasan tidak hanya mengurangi timbulan sampah plastik, tetapi juga menghadirkan peluang ekonomi baru.
Laporan itu menunjukkan, ekspansi guna ulang berpotensi menciptakan sumbangan ekonomi hingga Rp 8,2 triliun pada 2030, dengan manfaat bersih mencapai Rp 4 juta per ton sampah saset dan kemasan yang berhasil dikurangi.
Laporan itu juga menambahkan, infrastruktur guna ulang yang kuat menjadi kunci agar transisi ini benar-benar memberi manfaat jangka panjang.
Baca juga: Larangan Plastik Segera dan Serentak Hemat Uang 8 Triliun Dolar AS
Di satu sisi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyampaikan, produk-produk perawatan tubuh yang dijual dalam bentuk kemasan guna ulang produk tetap harus memiliki notifikasi dari BPOM. Kosmetik guna ulang yang diedarkan juga wajib mencantumkan informasi pada penandaan ataukemasan sebagaimana kosmetik reguler yang dijual komersial.
“Pada intinya, setiap produk kosmetik yang akan diedarkan di masyarakat harus sudah memiliki izin edar BPOM berupa notifikasi. Informasi pada penandaan harus jelas, mudah dibaca, dan tidak mudah lepas atau luntur dari kemasannya,” tulis Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat BPOM saat dimintai tanggapan Kompas.com.
Selain itu, produk-produk isi ulang juga perlu mencantumkan keterangan paling sedikit nama kosmetik, nomor notifikasi, nomor batch, nama dan alamat produsen, tanggal pengisian, dan tanggal kedaluwarsa.
BPOM juga menyebutkan, sarana distribusi penjualan produk isi ulang harus merupakan sarana yang telah memenuhi syarat penerapan sanitasi dan higiene, memiliki dokumen teknis, serta tempat penyimpanan yang memadai.
Baca juga: Miris! Tubuh Penyu Mengandung Plastik Setara 10 Bola Pingpong
“Sarana penjualan kosmetik isu ulang tersebut juga harus mendapatkan persetujuan dari Kepala BPOM,” sambung biro tersebut.
BPOM menambahkan, pihaknya menyediakan pendampingan sampai produk mendapatkan izin edar atau notifikasi bagi pelaku UMKM. Pendampingan tersebut bisa diakses melalui unit pelaksana teknis (UPT) di seluruh daerah.
Peraturan Badan POM Nomor 12 Tahun 2023, produk produsen besar yang dijual dalam bentuk curah juga perlu memiliki dokumen teknis seperti prosedur pemeriksaan kesehatan personel, catatan penjualan, pembersihan peralatan, pembersihan wadah, pengadaan, dan stok.
Kompas.com menghubungi Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Agus Rusly untuk meminta tanggapan, namun tidak mendapatkan respons. Kompas.com juga mengirim sejumlah pertanyaan ke KLH/BPLH melalui Biro Hubungan Masyarakat. Hingga berita ini ditulis, belum ada jawaban.
Karya jurnalistik ini didukung oleh program beasiswa jurnalis yang diselenggarakan oleh Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dengan topik: Mengurai Benang Kusut Sampah: Solusi Palsu vs. Jalan Menuju Zero Waste.
Baca juga: Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya