JOGJA/SOLO, KOMPAS.com – Di dalam ruangan toko berukuran sekitar 16 meter persegi beralas vynil dengan motif kayu, Ratri Sekar Wening (27), duduk menunggu pembeli, Senin (28/7/2025) sore. Di sekelilingnya terjajar rapi rak-rak kayu berisi botol kaca, toples kaca, tas, sedotan stainless steel, hingga keranjang kayu.
Di toples kaca, tertata sabun-sabun batang bermacam warna. Sedang di botol kaca terdapat cairan deterjen hingga sampo yang dipilah berdasarkan jenisnya. Sementara di keranjang kayu, ada barang-barang tak biasa macam spons gambas hingga cotton bud kayu.
“Di sini yang paling laris adalah body care, seperti sabun mandi dan sampo. Mungkin bisa 60-70 persen,” kata Ratri saat disambangi Kompas.com.
Di toko yang berlokasi di Jalan Kaliurang Km 17A, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu, setiap produk yang dijual tidak dibungkus kemasan plastik. Pun, toko ini tidak menyediakan kantong plastik. Para pembeli perlu membawa kantong belanjanya sendiri jika ingin belanja di toko bernama Vert Terre ini.
Toko yang didirikan Ratri bersama sahabatnya, Tiffani Rizki Putri Baihaqi, ini mengusun konsep bulk store, alias toko curah. Mereka menjual berbagai kebutuhan sehari-hari tanpa kemasan sekali pakai. Ketika berbelanja di sana, pembeli perlu membawa wadah sendiri, menakar sesuai kebutuhan, dan membawanya pulang.
Baca juga: Peta Global Ungkap Wilayah Laut Paling Terancam Sampah Plastik
Setidaknya, ada tiga plastik yang bisa dihindari saat berbelanja barang dari toko curah: plastik kemasan, saset, dan kantong sekali pakai.
Alasan Ratri membuka toko curah tak lepas dari kegelisahannya mengenai sampah plastik yang mencemari laut. Suatu waktu, ketika masih duduk di bangku kuliah, Ratri dan Tiffani melihat video lautan yang dipenuhi sampah plastik. Dia merasa miris karean plastik itu dimakan ikan dan ada penyu yang hidungnya tersumbat sedotan plastik.
“Ternyata sampah plastik enggak cuma di darat, tapi sudah sampai laut. Dari situ aku sama Tiffani mulai belajar dan coba mengurangi plastik,” kata Ratri.
Mereka lantas memutuskan untuk berhenti menggunakan plastik sekali pakai, termasuk menggunakan sedotan stainless steel sebagai pengganti sedotan plastik. Gaya hidup mereka pun diperhatikan kawan sekitarnya. Banyak yang tanya di mana dapat membeli sedotan stainless steel.
Ratri dan Tiffani pun melihat ada peluang bisnis di sana. Mereka mulai menawarkan sedotan stainless steel sekaligus mempromosikannya melalui media sosial (medsos). Permintaan pun semakin banyak dan barang yang dia jual semakin beragam. Setelah berdiskusi panjang, keduanya memutuskan untuk membuka toko curah dan produk guna ulang pada 2018.
“Di medsos mungkin kita bisa jelasin produknya atau foto. Nah menurut aku sama Tiffani memang butuh kayak kehadiran langsung agar pelanggan bisa datang ke toko. Terus melihat sendiri produknya kayak gimana. Menurutku, konsep ramah lingkungan enggak cukup online. Orang harus bisa pegang produk, tanya langsung, merasa terhubung,” kata Ratri.
Di Vert Terre pula, mereka membuka kelas belajar seperti membuat kertas daur ulang, merangkai bunga ramah lingkungan, hingga membuat lilin natural.
Baca juga: Stok Ikan di Laut Jawa Turun Drastis, Pencemaran Plastik Salah Satu Penyebabnya
“Kami ingin menunjukkan kalau ramah lingkungan itu menyenangkan, bukan menakutkan,” katanya.
Kegelisahan Ratri dan Wawan bukan tanpa sebab. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), proporsi sampah plastik terus naik dari tahun ke tahun.
Pada 2019, komposisi sampah plastik secara nasional adalah 15,88 persen. Lima tahun kemudian, komposisi sampah plastik meningkat menjadi hampir seperlima dari total timbulan sampah nasional yakni 19,73 persen.
Riset Ecoton pada 2022 juga menunjukkan, bukan hanya plastik, mikroplastik telah menjadi salah satu pencemar utama di sungai. Partikel berukuran kurang dari 5 milimeter ini bisa menjadi ancaman kesehatan serius bagi makhluk hidup, termasuk manusia.
Studi Ecoton menemukan, ada 97 mikroplastik per 100 liter air di Sungai Bengawan Solo, 121 mikroplastik per 100 liter air di Citarum, 198 mikroplastik per 100 liter air di Ciliwung, serta 107 mikroplastik per 100 liter air di Brantas.
Ratri menilai, di toko curahnya, konsumen bisa membeli sesuai kebutuhan tanpa terikat minimal pesanan, mulai dari jumlah kecil hingga skala besar. Dia menuturkan, produk-produk yang dijual di Vert Terre mayoritas buatan usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang terbuat dari bahan alami.
Bahan baku tersebut memiliki beberapa keunggulan. Deterjen alami, misalnya, mampu menjaga serat pakaian agar tidak cepat rusak, dan lebih ramah bagi mesin cuci.
Selain itu, lanjutnya, toko curah bisa membantu konsumen mengurangi timbulan sampah karena pembelian bisa dilakukan menggunakan wadah sendiri. Banyak produk juga bersifat guna ulang atau mudah terurai, sehingga tidak membebani biaya pembuangan sampah.
Baca juga: Gagal Sepakat, Pembicaraan Perjanjian Plastik Dunia Berakhir Tanpa Solusi
Kisah lain datang dari Hermawan Nugroho (39), pemilik Javapari Bulkstore, toko curah di Jalan Taman Sari Nomor 36, Kota Jogja, DIY. Awalnya, pria yang akrab disapa Wawan ini beserta istrinya resah melihat tumpukan sampah plastik di Yogyakarta.
Dari keresahan itu, mereka mengikuti berbagai komunitas di Jogja untuk sebisa mungkin mengurangi sampah dan mengolah sendiri sampahnya.
“Kami belajar mengolah sampah rumah tangga, bikin kompos, cuci plastik buat dipakai ulang. Dari situ tumbuh kebiasaan,” ujar Wawan.
Kebiasaan kecil itu lambat laun membentuk pola hidup baru. Pasangan ini kemudian makin banyak berjejaring dengan komunitas peduli lingkungan lain.
Karena jejaring itu, mereka tergerak untuk memasarkan produk-produk dari kawan-kawannya di komunitas itu. Mereka memberanikan diri membuka gerai kecil yang menyatu dengan sebuah kedai kopi di kawasan wisata Taman Sari di dekat Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Kawasan itu merupakan salah satu jujugan wisatawan ketika menyambangi Jogja.Pemilihan tempat itu bukan tanpa sebab. Wawan merupakan kepala kedai kopi tersebut. Dia memanfaatkan ruang yang tak dimanfaatkan untuk membuka Javapari Bulkstore pada 2020.
Baca juga: Bahaya di Balik Plastik yang Jadi Andalan, Ada Risiko Kanker hingga Fertilitas
Dari sana, mereka mulai menjual produk organik seperti beras mentik wangi, beras hitam, tepung lokal, kerupuk organik, hingga sabun dan sampo dari teman-teman komunitas dan UMKM lainnya.
Langkah itu tentu bukan tanpa risiko. Wawan mengaku, keputusan membuka toko curah terasa seperti perjudian besar, apalagi saat itu pandemi Covid-19 datang melanda.
“Kalau dibilang gambling, iya, mas. Karena menurut kami niat baik harus dilakukan sesegera mungkin. Persoalan untung rugi dipikir belakangan,” kata dia
Di tengah pandemi, mereka bertahan dengan menjual produk melalui grup WhatsApp dan memanfaatkan jasa kurir. Seiring meredanya pandemi dan kunjungan wisatawan mulai pulih, penjualan di toko ikut terkerek.
Namun, toko yang bertempat di kawasan wisata menghadirkan tantangan tersendiri. Para pembeli menginginkan kepraktisan produk melalui kemasan plastik.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya