Koordinasi dengan pemerintah Pusat bahkan amat intensif.
Saya adalah saksi hidup betapa Mas Pram terus mewanti-wanti dan memberi arahan soal ini.
Saat Musrenbang Jakarta, setidaknya Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy hadir, selain para pejabat eselon 1 dari K/L.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti datang berdiskusi tentang persiapan sensus ekonomi tahun depan.
Dewan Pengarah Kesamsatan Nasional–Kakorlantas, Dirjen Keuda Kemendagri, dan Dirut Jasa Rahardja pun berkunjung untuk berkoordinasi membangun tata kelola kendaraan bermotor yang lebih baik.
Gubernur Banten Andra Soni pun menyambangi Balai Kota dan dibalas dengan kunjungan silaturahmi Wagub Rano Karno, hingga berpuncak pada peluncuran bersama jalur baru TransJabodetabek.
Mas Pram pun sigap membangun kerja sama contract farming dengan Bupati Karawang yang merupakan daerah utama penghasil beras. Juga mengajak Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono, Bupati Bogor Rudy Susmanto, Wali Kota Depok Supian Suri, dan Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie membangun integrasi moda transportasi publik yang menguntung warga.
Untuk mewujudkan Jakarta Collaboration Fund, Pemprov Jakarta tak segan belajar langsung dari pengelolaan INA dan Danantara.
Termasuk untuk mengelola BUMD yang baik, Mas Pram meminta rekomendasi talenta terbaik dari BUMN yang akhirnya menjadi direksi Bank DKI, termasuk mengikuti arahan OJK untuk membangun sinergi Bank DKI dengan Bank Maluku dan Malut.
Beberapa waktu lalu, Gubernur NTT Melki Laka Lena mengajak seluruh bupati dan wali kota se-NTT berkunjung ke Balai Kota Jakarta untuk menjajaki kerja sama yang lebih erat.
Gubernur Maluku Utara pun datang bersama rombongan untuk belajar tentang JAKI, aplikasi terintegrasi sebagai basis pelayanan digital untuk warga DKI.
Baca juga: Jelang 100 Hari Kerja Pramono-Rano, Satu dari 40 Program Unggulan Belum Terealisasi
Terakhir, Gubernur Jakarta bersurat ke Mensesneg untuk mendapatkan arahan dan persetujuan revitalisasi kawasan Thamrin.
Ketiga, membuka ruang partisipasi yang luas. Sejak awal kontestasi di Pilgub DKI, Mas Pram-Bang Doel menyadari tak mungkin sendirian mengemban mission impossible ini.
Maka ruang partisipasi dibuka luas. Keterlibatan berbasis kesukarelawanan dengan memberikan prioritas pada komunitas warga dan budaya.
Kemenangan Pram-Doel merupakan kemenangan politik partisipatoris. Pilar-pilar penting yang dapat meyangga roda kerja politik dirangkul dan diberdayakan.
Sejak pelantikan, para mantan gubernur DKI diundang, disapa, dan didengarkan. Jakarta menjadi milik semua. Bahkan mantan rival saat Pilgub pun diterima dan didengarkan masukannya.
Untuk memperkuat, Bang Doel melapis dengan membangun relasi kuat dengan komunitas seni, budaya, olah raga, dan lainnya. Salah satu komitmen partisipatoris adalah IPO BUMD DKI untuk memastikan pengawasan publik secara luas dan langsung.
Keempat, Kota Global sebagai game changer. Secara legal sesuai UU 2/2024, Jakarta masih tetap menyandang status Ibukota NKRI hingga perpindahan formal ke IKN dilakukan.
Sesuai mandat UU 2/2024, Jakarta bergegas untuk mewujudkan impian sebagai kota global.
Ini bukan soal ambisi, melainkan ikhtiar agar seluruh indikator pelayanan publik punya patok banding (benchmark) yang unggul.
Sektor pendidikan, kesehatan, transportasi publik, energi dan pengelolaan sampah, ekonomi kreatif, dan budaya adalah fokus yang mesti digarap dengan baik agar Jakarta layak menjadi kota global yang membanggakan.
Di titik inilah imajinasi Mas Pram menemukan konteks dan relevansi. Ia selalu teringat pada pengalaman masa kecil melihat Monas, yang menyemangatinya untuk belajar serius dan berprestasi.
Itu pula yang dia lakukan ketika mengaktivasi taman 24 jam, membuka perpustakaan dan museum lebih lama, dan memberi kesempatan anak-anak mengunjungi TMII, Monas, Ancol secara gratis.
Ia ingin menularkan mimpi masa kecil dan pengalaman mendidik anak kepada orang lain.
Baca juga: Ada Belasan Ribu Ijazah Tertahan di Sekolah, Pramono Ingin Tebus dalam 100 Hari
Garis ketidakberuntungan harus diputus! Itu sebuah pernyataan politik yang lugas dan proposisi filosofis yang mendalam.
Saya langsung terbayang John Rawls, teoretikus keadilan paling masyhur yang mengusulkan maslahat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung sebagai ukuran sahih bagi kebijakan publik.
Dalam batu pijak pemikiran Rawls, saya pun teringat usulan Amartya Sen, ekonom besar peraih Nobel, yang mengusulkan pendekatan kapabilitas sebagai ukuran capaian pembangunan, alih-alih sekadar angka statistik PDB, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, atau nilai tukar.
Dan rangkaian pemikiran penting itu saya temukan dalam kepemimpinan Mas Pram-Bang Doel.
Saya perlu kembali ke awal, Program 100 Hari Pram-Doel bukanlah upaya gagah-gagahan.
Itu sebuah proyek sengaja yang diciptakan untuk merangsang imajinasi bersama. Tak perlu muluk-muluk, tapi menjangkau kebutuhan dasar warga Jakarta.
Kita belajar mendengarkan dan menjawab keinginan warga–demikian Mas Pram berulang kali mewanti-wanti.
Maka 40 program prioritas itu lebih tepat diletakkan sebagai fondasi dan batu bata pertama dari sebuah konstruksi jembatan yang disiapkan dalam lima tahun ke depan.
Baca juga: Pramono: Saya Akan Jadi Pemimpin untuk Semua Agama
Layaknya fondasi, ia tak tampak di permukaan. Namun, mesti kokoh dan solid.
Maka komitmen ini dituangkan dalam Instruksi Gubernur agar mengikat seluruh mesin birokrasi dan dapat diawasi seluruh pihak.
Kami menyusun indikator capaian yang terukur. Sekali lagi, ini bukan hasil akhir melainkan langkah awal.
Bak langkah pembuka dalam permainan catur atau sepakan pertama di sepakbola, yang akan menentukan irama permainan selanjutnya.
Implementasi 40 program di 100 hari pertama ini ini juga sekaligus dimaksudkan sebagai batu uji dan instrumen partisipasi publik.
Batu uji untuk mengukur kesiapan mesin birokrasi dan seluruh perangkat teknisnya. Ada keterlibatan, termasuk aspirasi dan kritik. Hal yang amat penting dan sehat dalam pemerintahan demokratis.