Jika sedikit bernostalgia, apa yang disodorkan Mas Pram dan Bang Doel sejatinya model people-centered development yang terkenal di akhir abad ke-20.
Warga menjadi subyek dan aktor utama pembangunan.
Proyek memutus garis ketidakberuntungan dimulai dari menebus ijazah yang tertahan sehingga mereka bisa bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak.
Lalu penerima KJP dan KJMU diperluas dengan tetap memperhatikan akurasi data. Bahkan penerima KJMU akan diperluas ke jenjang S2 dan S3, demi mewujudkan mimpi siapapun berhak pintar dan sukses.
Baca juga: Kepuasan Publik terhadap Pramono Urutan 5, Stafsus: Warga Jakarta Lebih Kritis
Proyek rumah sakit berstandard internasional dimulai, di tengah komersialisasi sektor kesehatan. Maksudnya sederhana, agar setiap warga Jakarta dapat mengakses layanan kesehatan terbaik sebagai hak dasar warga.
Meminjam Ronald Dworkin, ini sebuah imajinasi bahwa siapa pun berhak bermimpi jadi orang kaya dan akan membayar pajak, seraya berharap saat sakit akan ditolong oleh negara.
Mas Pram bisa membayangkan tingkat stress warga Jakarta yang bertahun-tahun hidup dengan kemacetan tanpa jalan keluar selain pasrah.
Pula banjir tahunan yang meluas dan dampaknya sangat merugikan. Dua hal ini ingin dijawab secara teknokratik dan sedini mungkin.
Maka 100 Hari Pertama adalah sinyal keberpihakan dan kesungguhan.
Hari pertama bekerja, pasukan warna warni diaktifkan kembali. Selain mengeruk kali dan normalisasi bantaran, juga penanganan sampah hingga merawat para lansia.
Daycare yang menjadi kebutuhan vital keluarga-keluarga di Jakarta, juga mulai disediakan.
Untuk memastikan inisiatif ini berjalan secara bottom up, pengurus RT/RW, Jumantik, Dasawisma, Posyandu diberi tugas tambahan dan disesuaikan insentifnya.
Wilayah RT/RW sebagai komunitas basis juga akan diintegrasikan dengan CCTV terpadu sehingga aspek keamanan dan kenyamanan tetap terjadi, tentu dengan tetap menjaga privasi warga.
Kembali ke soal manusia. Problem klasik seperti tawuran, kekerasan, penyerobotan trotoar, parkir liar, dan lainnya adalah problem sosial yang mesti dikenali akar masalahnya dan dicarikan solusi komprehensif berjangka panjang.
Barangkali terdengar utopis, tetapi aktivasi ruang publik kota merupakan prasyarat mutlak.
Pun logika transportasi publik bukan sekadar isu mobilitas, tetapi bersinggungan dengan problem sosial yang lebih luas.
Dengan transportasi publik yang baik dan penghematan waktu tempuh, warga diharapkan memiliki waktu lebih untuk menikmati kehidupan sosial.
Warga kota yang dihimpit laju ekonomi kapitalistik yang tak kenal lelah mengejar laba butuh ruang publik sebagai katarsis.
Baca juga: Kepuasan Publik terhadap Pramono Urutan 5, Stafsus: Jadi Masukan dan Bahan Evaluasi
Individualisme dan gejala atomisme masyarakat perkotaan harus menjadi perhatian, maka kohesi sosial harus dipulihkan dan dirawat.
Taman kota adalah bentuk keberpihakan pada warga yang butuh ruang terbuka yang segar, sebagai sarana memulihkan relasi lewat perjumpaan.
Perpustakaan dan museum yang dibuka lebih lama juga sinyal bagi perhatian untuk memperkuat modal sosial, di samping perhatian yang lebih besar bagi tumbuh kembangnya budaya sebagai bentuk ekspresi kolektif warga.
Tentu saja itu tak cukup. Namun, gerak langkah bersama berbasis sistem, pola kerja, partisipasi, dan kontrol publik ini diharapkan lebih menjamin ikhtiar menjaga dan mengoptimalkan peran Jakarta bagi kebaikan warga.
Pengamatan jarak dekat pada cara bekerja dan berpikir Mas Pram dan Bang Doel, harapan itu kuat tersembul.
Kerja-kerja teknokratik secara rutin dijalankan.
Sisi pendapatan, belanja, pembiayaan, dan kinerja BUMD dicermati dalam detail. Penyediaan air bersih, pengolahan sampah terpadu, dan pengembangan ekonomi yang mendatangkan nilai tambah terbesar bagi warga, terus menjadi perhatian.
Ini membuat saya déjà vu pada cara kerja Bu Sri Mulyani saat saya lima tahun membantu di Kementerian Keuangan. Kerja sunyi yang butuh ketekunan dan daya juang. Mirip pepatah Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe.
Baca juga: Gebrakan Baru Pramono: Larang Ondel-ondel untuk Mengamen hingga Pasang 100 CCTV
Saya semakin sadar, Mas Pram dan Bang Doel sedang meletakkan batu penjuru untuk fondasi yang kuat.
Mereka sedang berupaya membangun jembatan untuk mengantar warga Jakarta, dan tentu juga sekitarnya, untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kondisi hidup yang lebih baik.
Waktu 100 hari di awal cukup pasti tak cukup untuk menilai. Namun, kiranya cukup fair dijadikan sinyal awal tentang kesungguhan bekerja melayani publik.
Perjalanan masih panjang. Tak perlu tergoda untuk berlomba membangun persepsi di atas fondasi batu yang rapuh.
Kerja telaten dengan fondasi yang kuat dan sabar menata bata demi bata kiranya menjadi cara kerja yang baik.
Itulah analogi untuk komitmen menjaga integritas, bekerja profesional, menjaga akuntabilitas, berfokus pada kebaikan bersama.
Dan itu hanya mungkin jika kita percaya pada kerja kolektif, membangun sosialitas, dan sudi mengempiskan ego yang terkadang menggoda diri untuk menangguk segala citra baik.
Selamat dengan capaian 100 hari, Mas Pram dan Bang Doel.
Warga Jakarta dan publik luas, mari terus kawal dengan keterlibatan, masukan, gagasan, dan kritik. Mimpi Jakarta sebagai kota global adalah mimpi Indonesia, rumah kita bersama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.