Hal serupa juga berlaku untuk komoditas lain seperti karet, kopi, kakao, dan teh yang menjadi andalan daerah masing-masing.
Singkatnya, subsektor perkebunan merupakan fondasi ekonomi perdesaan, yang bila dikelola optimal, dapat memperkecil kesenjangan desa-kota sekaligus meningkatkan kesejahteraan nasional.
Meski berperan strategis, sektor perkebunan rakyat menghadapi berbagai kendala klasik yang menghambat potensi maksimalnya.
Produktivitas rendah menjadi tantangan utama. Banyak tanaman perkebunan masih dikelola secara tradisional dengan pohon-pohon tua atau varietas kurang unggul, sehingga hasil per hektare jauh di bawah potensi.
Sebagai gambaran, produktivitas rata-rata kebun kelapa sawit rakyat hanya sekitar 3–4 ton minyak per hektar, padahal dengan bibit unggul bisa mencapai 6–8 ton.
Rendahnya adopsi teknologi modern, minimnya mekanisasi, serta kurangnya penyuluhan pertanian turut berkontribusi pada stagnannya produktivitas.
Baca juga: Menembus Pasar Premium Organik
Regenerasi petani juga menjadi isu tersendiri. Generasi muda kurang tertarik bertani akibat hasil yang kecil dan kerja berat, sehingga inovasi berjalan lambat.
Kendala berikutnya terkait kepemilikan lahan dan skala usaha. Mayoritas petani perkebunan tergolong petani kecil (smallholders) dengan lahan sempit, sering kali di bawah dua hektar per keluarga.
Skala yang terbatas ini menyulitkan upaya intensifikasi dan efisiensi ekonomi.
Di sisi lain, terdapat ketimpangan struktural, dimana sebagian besar lahan luas dikuasai perusahaan besar (swasta maupun BUMN), sementara jutaan petani kecil hanya menggarap lahan marginal.
Dari total sekitar 14 juta hektar kebun sawit nasional, 43 persen dikelola petani rakyat, sementara sisanya korporasi besar.
Kondisi ini menimbulkan kesenjangan produktivitas dan pendapatan. Lebih jauh lagi, banyak pekebun kecil tidak memiliki legalitas atas lahan atau lahannya masuk kawasan hutan, sehingga sulit mendapat bantuan pemerintah maupun akses kredit formal, sekaligus rawan konflik agraria.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah akses pasar dan rantai nilai. Petani perkebunan sering kali berada di posisi lemah dalam rantai pasok.
Mereka bergantung pada tengkulak atau perusahaan besar, sehingga harga jual di tingkat petani relatif rendah. Panjangnya rantai pemasaran menggerus margin keuntungan.
Petani karet dan kopi, misalnya, kerap mengeluhkan harga jatuh di tingkat desa, padahal komoditas bernilai tinggi di pasar ekspor.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya