Ketidakstabilan harga global, seperti fluktuasi CPO atau anjloknya karet dunia, langsung memukul pendapatan petani yang tidak memiliki perlindungan harga.
Ditambah lagi, disparitas infrastruktur membuat harga di daerah terpencil jauh lebih rendah dibanding sentra utama di Jawa atau Sumatra.
Untuk menjadikan subsektor perkebunan sebagai motor penciptaan kerja sekaligus pengentas kemiskinan, ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh.
Baca juga: Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Di antaranya adalah peremajaan tanaman dengan bibit unggul dan teknologi modern, diversifikasi komoditas unggulan agar petani tidak tergantung satu produk, serta perluasan akses pembiayaan dan insentif.
Selain itu, penguatan kelembagaan petani melalui koperasi atau korporasi dapat meningkatkan posisi tawar mereka, sementara hilirisasi dan pembangunan industri pengolahan di tingkat lokal akan menambah nilai tambah, membuka lapangan kerja baru, dan menjaga agar keuntungan lebih banyak tinggal di desa.
Upaya revitalisasi dan pemberdayaan perkebunan rakyat mulai menunjukkan hasil di berbagai daerah. Sejumlah praktik baik membuktikan bahwa dengan dukungan kelembagaan, pasar, dan kebijakan yang tepat, petani mampu meningkatkan kesejahteraan sekaligus menembus rantai pasok global.
Salah satu contohnya datang dari Manggarai Timur, NTT, di mana petani kopi robusta dan arabika yang tergabung dalam koperasi berhasil menembus pasar ekspor hingga Eropa.
Kualitas kopi Flores yang dikelola secara kolektif diminati pembeli dari Belanda, Jerman, hingga Italia.
Dampaknya signifikan, harga beli di tingkat petani melonjak menjadi Rp 29.000 per kilogram, jauh lebih tinggi dibanding penjualan ke tengkulak lokal.
Keberhasilan ini tercapai berkat pendampingan mutu, promosi, serta dukungan pemerintah daerah dalam sertifikasi dan kemitraan dagang.
Kisah serupa hadir dari Jawa Barat, ketika lima koperasi petani kopi berkolaborasi membentuk PT Java Preanger Lestari Mandiri (JPLM).
Baca juga: Mengelola Dinamika Pasar dan Industri Kelapa Bulat
Dengan dukungan Kementerian Pertanian, korporasi ini tidak hanya menjual biji kopi, tetapi juga mengelola pengolahan, branding, hingga aktif mengikuti pameran internasional seperti Istanbul Coffee Expo.
Pemerintah membantu dengan akses modal, bibit unggul, dan unit pengolahan, sehingga produktivitas meningkat dan produk olahan kopi dapat dijual dengan harga premium.
Sementara itu, di Kalimantan Selatan, koperasi petani sawit berhasil mendirikan pabrik pengolahan minyak sawit (mini CPO mill) milik sendiri.
Dukungan organisasi petani dan pemerintah daerah memungkinkan mereka mengolah tandan buah segar menjadi CPO tanpa sepenuhnya bergantung pada pabrik besar.
Imbasnya, nilai tambah lebih banyak tinggal di desa dan posisi tawar petani meningkat.
Contoh-contoh ini menegaskan bahwa kombinasi kebijakan tepat dan inisiatif lokal dapat menjadikan sektor perkebunan mesin pengentas kemiskinan.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di siniArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya