JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) menyuarakan keresahan atas maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
Ketua Umum IKA Tekstil, Riady Madyadinata, mengatakan PHK kali ini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tetapi juga tenaga ahli hingga manajemen menengah.
“Anggota kami yang merupakan profesional juga ikut terdampak. Kami tengah menganalisa akar masalah penutupan pabrik melalui masukan dari koordinator wilayah di DKI-Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah-DIY, hingga Jawa Timur,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (19/9/2025).
Baca juga: APINDO Nilai Bebas BMAD Jaga Industri Tekstil dari Gelombang PHK
Ilustrasi: Bahan baku benang sintetis yang akan diolah menjadi tekstil polyester.Menurut Riady, masalah utama terletak pada sulitnya penjualan produk dalam negeri akibat banjir barang impor, baik legal maupun ilegal.
Harga produk lokal dinilai sulit bersaing karena biaya produksi di Indonesia lebih tinggi sekitar 35 sampai 40 persen dibanding barang impor.
IKA Tekstil juga mencatat sejumlah faktor lain yang menekan daya saing industri, seperti biaya energi, sumber daya manusia, logistik, hingga budaya kerja di internal perusahaan.
Ironisnya, banyak alumni justru berkarier di luar negeri karena industri TPT di negara lain tengah berkembang.
Riady menambahkan, masuknya investasi asing, terutama dari China, belum cukup mampu menahan laju PHK dan penutupan pabrik di dalam negeri.
Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, meminta Kementerian Perindustrian transparan dalam mengumumkan perusahaan penerima kuota impor beserta besarannya.