KOMPAS.com – Di tengah peningkatan kebutuhan, akses dana cepat, seperti memanfaatkan platform pinjaman, kadang dibutuhkan. Di sisi lain, masyarakat masih sulit membedakan antara pinjaman daring (pindar) yang terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta pinjaman online (pinjol) ilegal.
Diberitakan Kompas.id, Senin (28/4/2025), Nina (62) dan Nana (36) harus menanggung beban lantaran salah memilih platform pinjaman.
Nina adalah perempuan kepala keluarga asal Jakarta Selatan. Dari 2021-2024, ia berjuang melepaskan sang anak, Susi (25), dari jerat utang yang menggunung di sejumlah platform pinjol.
Utang tersebut awalnya hanya sebesar Rp 1-2 juta. Lalu, membengkak hingga 1,8 miliar akibat bunga berbunga. Untuk melunasi utang pinjol sang anak, Nina terpaksa menguras semua tabungannya.
Kondisi itu tidak hanya membebani secara finansial, tapi juga psikis. Nina harus berhadapan dengan teror penagih utang.
Bahkan, mereka tak hanya menelepon puluhan kali, tapi juga mendatangi rumah dan pengurus RT, serta menyebarkan informasi utang ke semua kontak di ponsel anaknya. Hal ini membuat Nina merasa sangat trauma dan malu.
Kisah Nana tak kalah pahit. Akibat utang pindar, rumah tangganya retak dan kini harus menjadi orangtua tunggal bagi tiga anaknya.
Perempuan asal Bandung, Jawa Barat, tersebut terjerumus utang karena sang mantan suami memakai namanya untuk meminjam uang di platform pinjol.
Dari uang ini, mantan suaminya membeli burung kicau, motor, hingga mobil. Padahal, ia hanya seorang buruh pabrik. Lebih pelik lagi, mantan suaminya juga memakai uang hasil pinjol untuk bermain judi daring.
Utang-utang mantan suaminya tersebut pun membengkak. Tak tahan, Nana pun minta cerai. Harta dan rumahnya juga ludes untuk membayar utang pinjol mantan suaminya.
Ia pun menjadi emosional dan asam lambungnya kerap kumat bila memikirkan utang-utang tersebut.
Kisah Nina dan Nana menggambarkan dampak buruk dari pinjol ilegal yang tidak terkontrol. Di sisi lain, platform pindar yang terdaftar dan diawasi oleh OJK telah diatur dengan ketat, termasuk dalam hal bunga yang dikenakan.
Sebagai asosiasi yang menaungi 96 platform pindar resmi, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berkomitmen untuk melindungi konsumen dengan menetapkan batas atas bunga.
Upaya ini tidak hanya bertujuan untuk membedakan layanan resmi dan ilegal, tetapi juga untuk memastikan bahwa pinjaman tetap terjangkau dan tidak memberatkan nasabah.
Selain itu, langkah tersebut sejalan dengan perlindungan yang diperkuat oleh Undang-Undang No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang memberikan dasar hukum lebih kuat untuk memastikan pinjaman daring tetap terjangkau dan tidak memberatkan nasabah.