
SATU tahun sudah sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengucap sumpah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Euforia politik yang mengiringi pelantikan itu masih terasa hangat di ingatan: rakyat berharap bukan hanya pada pergantian kepemimpinan, tetapi juga pada perubahan nasib.
Di antara janji-janji besar yang mereka gaungkan, satu yang paling membekas adalah komitmen menciptakan 19 juta lapangan kerja baru.
Janji itu menyala seperti lentera di tengah kekhawatiran banyak orang tentang sulitnya mencari pekerjaan layak. Namun, setahun berlalu, apakah cahaya itu benar-benar menerangi jalan?
Pertumbuhan ekonomi masih terjaga di kisaran lima persen, inflasi relatif terkendali, dan angka pengangguran terbuka menurun tipis menjadi 4,76 persen.
Pemerintah tentu punya alasan untuk menyebut ini capaian. Namun, di balik deretan statistik yang tampak indah di layar, ada kenyataan yang tidak sesederhana itu.
Pasar tenaga kerja Indonesia, ibarat timbangan besar, sedang oleng. Di satu sisi, jutaan anak muda masuk ke pasar kerja dengan semangat baru; di sisi lain, jumlah pekerjaan yang tersedia tidak bertambah secepat itu.
Baca juga: Perdebatan Luhut Vs Purbaya: Antara Ambisi Investasi dan Kehati-hatian Fiskal
Inilah yang oleh ekonom disebut ketimpangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja-supply naik, demand stagnan.
Akibatnya terasa di lapangan. Di pabrik, di sawah, di perikanan, di toko-toko daring. Banyak yang bekerja, tapi sedikit yang sejahtera. Banyak yang mendapat upah, tapi tak banyak yang cukup untuk hidup layak.
Kurva penawaran tenaga kerja bergeser ke kanan, seperti kata teori ekonomi, tetapi kurva permintaan masih bergeming di tempatnya. Keseimbangan pun bergeser, bukan ke titik kesejahteraan, melainkan ke titik bertahan hidup.
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah angkatan kerja pada Februari 2025, mencapai lebih dari 153 juta orang, naik hampir empat juta dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Lonjakan ini adalah buah dari bonus demografi- keuntungan besar jika bisa dikelola, tetapi juga bisa menjadi bom waktu jika tidak dikelola.
Ketika lapangan kerja baru tak cukup tersedia, tekanan sosial meningkat. Sebagian pekerja masuk ke sektor informal, sebagian lain terjebak di pekerjaan kontrak pendek atau bergaji rendah.
Sementara itu, perusahaan-demi efisiensi-terus melakukan otomatisasi dan digitalisasi yang justru mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia.
Pemerintah mencoba merespons situasi itu dengan berbagai program. Dalam pidato Nota Keuangan RAPBN 2026, Presiden Prabowo menyebut telah tercipta 3,6 juta lapangan kerja baru selama tahun pertama.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya