
Programnya meliputi Koperasi Desa Merah Putih, replanting perkebunan rakyat, revitalisasi tambak Pantura, Kampung Nelayan Merah Putih, dan modernisasi kapal nelayan. Semuanya diarahkan ke sektor riil, terutama pertanian, perikanan, dan ekonomi desa.
Langkah ini patut diapresiasi karena fokus pada akar ekonomi rakyat, bukan sekadar kota besar.
Namun, ketika ditelisik lebih dalam, menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah pekerjaan-pekerjaan baru itu cukup layak untuk membuat masyarakat keluar dari kemiskinan?
Mari lihat faktanya. Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 di Papua Barat Daya ditetapkan sebesar Rp 3,6 juta per bulan.
Di atas kertas, angka itu terlihat lumayan. Namun, garis kemiskinan rumah tangga di wilayah tersebut mencapai Rp 5,4 juta per bulan.
Artinya, bahkan pekerja yang menerima upah minimum masih kekurangan sekitar dua juta rupiah hanya untuk menutup kebutuhan dasar.
Sementara di provinsi lain, ketimpangan juga terlihat: Jakarta memiliki UMP tertinggi Rp 5,39 juta, sementara Jawa Tengah hanya Rp 2,16 juta.
Di Sulawesi Barat, garis kemiskinan per kapita tercatat Rp 475.000-terendah di Indonesia, sedangkan di Papua Pegunungan tertinggi, yakni Rp 1,13 juta per orang.
Perbedaan itu menunjukkan betapa mahalnya hidup di bagian timur negeri ini. Nominal upah mungkin tinggi, tetapi daya belinya rendah.
Baca juga: Masih Adakah Empati untuk Rakyat?
Seorang pekerja di Jakarta dengan upah Rp 5 juta bisa menabung. Namun di Sorong, upah Rp 3 juta nyaris habis hanya untuk makan dan transportasi.
Jadi, jika kita bertanya apakah kenaikan upah bisa membuat orang keluar dari garis kemiskinan? Jawabannya belum tentu. Banyak pekerja masih terjebak dalam kondisi “working poor”-bekerja keras, tapi tetap miskin.
Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi soal martabat manusia. Upah yang tak sebanding dengan biaya hidup berarti kerja belum menjadi jalan menuju kemerdekaan ekonomi.
Dalam istilah klasik, Indonesia belum mencapai living wage, upah yang memungkinkan pekerja hidup layak dan bermartabat.
Di sinilah letak tantangan terbesar pemerintahan Prabowo – Gibran: bagaimana membuat kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga instrumen keadilan sosial.
Selain masalah upah, ada pula persoalan kualitas kerja. Lebih dari setengah tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal. Mereka tidak punya jaminan sosial, tidak punya kepastian kerja, dan mudah tergeser bila ekonomi melambat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya