
Pemerintah memang telah menggalakkan pelatihan vokasi dan sertifikasi, tapi sering kali keterampilan yang diajarkan tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Dunia kerja butuh tenaga siap pakai, sementara lembaga pelatihan masih sibuk dengan kurikulum lama. Akibatnya, banyak orang punya ijazah dan sertifikat, tapi tetap menganggur.
Kesenjangan ini menciptakan paradoks: di satu sisi perusahaan kekurangan tenaga kerja terampil, di sisi lain ada jutaan pencari kerja yang tak tertampung.
Padahal, dalam teori ekonomi tenaga kerja, upah seharusnya mencerminkan produktivitas. Jika produktivitas meningkat, maka upah pun naik.
Namun kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil selama lima tahun terakhir tidak diikuti oleh kenaikan upah riil yang berarti. Yang naik hanyalah angka nominalnya; daya belinya tetap menurun karena inflasi dan biaya hidup tinggi.
Banyak yang mengatakan, setahun pertama pemerintahan Prabowo – Gibran adalah masa transisi. Itu benar. Namun, transisi seharusnya bukan alasan untuk berjalan lamban.
Tahun pertama semestinya menjadi landasan kuat untuk mengarahkan arah pembangunan ekonomi rakyat: memperkuat industri padat karya modern, memperluas lapangan kerja formal, dan memastikan kebijakan upah mengikuti garis kemiskinan lokal, bukan sekadar rumus inflasi nasional.
Kita perlu keberanian politik untuk memperbaiki cara penetapan upah agar lebih adil antarwilayah.
Baca juga: Ketika Raja Terlalu Percaya kepada Lingkaran Dalamnya
Selama ini, daerah-daerah dengan biaya hidup tinggi justru memiliki upah riil lebih rendah. Jika ini dibiarkan, maka kesenjangan wilayah akan makin tajam, dan bonus demografi bisa berubah menjadi beban demografi.
Namun, bukan berarti segalanya suram. Ada tanda-tanda baik. Pemerintah mulai serius mendorong hilirisasi industri di luar Jawa, memperluas investasi energi hijau, dan memperkuat koperasi desa.
Program ketahanan pangan dan kampung nelayan, jika dijalankan dengan benar, bisa menciptakan jutaan pekerjaan baru di akar ekonomi rakyat. Syaratnya satu: harus disertai peningkatan produktivitas dan jaminan upah layak.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan fiskal mendukung penciptaan pekerjaan berkualitas.
Insentif pajak bagi perusahaan yang membuka lapangan kerja formal, bantuan sosial untuk pekerja informal, dan penguatan perlindungan jaminan sosial bisa menjadi kombinasi kebijakan yang memperbaiki keseimbangan pasar tenaga kerja.
Satu tahun pemerintahan Prabowo – Gibran memberi pelajaran penting: menciptakan lapangan kerja tidak cukup dengan membangun proyek, melainkan dengan membangun manusia.
Lapangan kerja tanpa peningkatan kualitas SDM hanya akan menciptakan roda ekonomi yang berputar tanpa arah. Bonus demografi tidak akan membawa berkah jika tenaga kerja produktif hanya menjadi buruh murah di negeri sendiri.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya