
DI REPUBLIK ini, perbedaan pandangan antarpejabat tinggi bukanlah hal baru. Sejak dulu, perdebatan dan gesekan ide selalu menjadi bagian dari dinamika pemerintahan.
Namun, ketika dua sosok berpengaruh seperti Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saling beradu pendapat, kisah itu menjadi gambaran nyata tarik-menarik antara dua visi besar dalam pengelolaan ekonomi nasional.
Di satu sisi, ada dorongan besar untuk menarik investasi asing. Namun di sisi lain, ada kehati-hatian yang didasarkan atau mengutamakan adanya stabilitas fiskal dan kedaulatan negara.
Luhut, yang sebelumnya dikenal sebagai “menteri segala urusan”, kembali menjadi sorotan publik dengan gagasan ambisius tentang Family Office.
Dengan ini Ia ingin menjadikan Indonesia sebagai tempat menarik bagi miliarder dunia untuk menanamkan modal, membuka gerbang ekonomi selebar-lebarnya.
Baca juga: Purbaya Mengembus Whoosh
Ia membayangkan Jakarta, Bali, atau Batam sebagai pusat finansial global yang ramah terhadap investasi.
Dalam pandangannya, APBN hanya menyumbang 10–15 persen dari perekonomian nasional, sehingga mendorong investasi asing adalah kunci mempercepat pertumbuhan dan pembangunan.
Namun, pandangan Luhut tidak sepenuhnya sejalan dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Dengan kalkulator dan neraca anggaran di tangan, Purbaya memilih untuk berhitung dengan lebih matang alias tidak gegabah.
Ia bukan menolak investasi, tapi menolak insentif yang berpotensi membahayakan kondisi fiskal negara. Pengalaman dengan kereta cepat Woosh rupanya menjadi pelajaran penting.
Dalam pikirannya, setiap kebijakan insentif pajak pasti membawa konsekuensi—seringkali berupa kebocoran anggaran yang berujung pada defisit yang sulit dikendalikan.
Pernyataannya yang tegas, “Kalau Dewan Ekonomi Nasional mau bangun sendiri, silakan. Saya tidak akan alihkan anggaran ke sana,” menjadi simbol sikap yang mengutamakan disiplin fiskal.
Konflik yang berlangsung ini tidak meledak di ruang publik, tetapi terasa nyata dalam rapat-rapat tertutup. Luhut membawa visi global yang penuh ambisi, sementara Purbaya mengedepankan fondasi nasional yang kokoh dan terjaga.
Satu menatap langit peluang yang berkilauan dan menjanjikan harapan, yang lain menatap tanah agar tidak retak akibat ketidak hati-hatian.
Prinsip yang mereka pegang boleh dikatakan sama-sama mulia, tapi arah yang diambil tampak berbeda dan berpotensi menciptakan ketegangan, bahkan pembelahan di internal.
Perdebatan ini juga semakin menarik dengan disertakannya teknologi kecerdasan buatan untuk validasi ide atau gagasan. Di mana Luhut menyebut bahwa kajian Family Office telah dianalisis dengan AI sebagai pendukung keputusan.
Baca juga: Ammar Zoni Perlu Dilindungi