JAKARTA, KOMPAS.com - Bila masih ingat, beberapa waktu lalu marak istilah rombongan jarang beli (rojali) maupun rombongan hanya nanya (rohana) di mal dan pusat-pusat perbelanjaan.
Ada banyak pihak yang menjelaskan penyebab rojali dan rohana, yang diyakini merupakan daya beli masyarakat lesu. Namun, apa yang sebenarnya terjadi?
Lembaga survei KedaiKOPI merilis Survei Perilaku Konsumsi dan Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah untuk mengetahui pola konsumsi masyarakat kelas menengah.
Baca juga: Rojali, Rohana, Rohalus: Daya Beli Melemah atau Gaya Belanja Berubah?
Ilustrasi belanja, belanja di supermarket. Salah satu hal menarik dari hasil survei tersebut adalah maraknya fenomena rojali dan rohana. Lembaga survei itu menyebut, tertekannya masyarakat kelas menengah dapat dilihat dari maraknya rojaali dan rohana.
Peneliti senior KedaiKOPI Ashma Nur Afifah mengatakan, pusat-pusat perbelanjaan seperti mal memang terlihat tetap ramai di tengah daya beli masyarakat kelas menengah yang lesu.
Akan tetapi, sebenarnya para pengunjung mal kebanyakan hanya jalan-jalan, tanpa berniat melakukan belanja.
Dari hasil survei, tiga dari lima responden mengaku sering jalan-jalan ke mal tanpa belanja. Pasalnya, mereka menilai harga-harga barang di mal mahal.
Baca juga: Menteri Rosan Minta Anak Buahnya Tak Jadi Rojali dan Rohana Produk UMKM
Selain itu, diskon-diskon yang ditawarkan kurang menarik. Ini membuat niat belanja masyarakat di ritel fisik cenderung melemah.
"Pada akhirnya, mal berubah fungsi dari tempat purchasing (pembelian), ke tempat untuk mencoba barang," tutur Ashma dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Survei tersebut juga menemukan meningkatnya kecenderungan masyarakat kelas menengah untuk membandingkan harga di toko daring dan luring sebelum belanja.