JIKA dulu musuh utama bangsa adalah kolonialisme dan penjajahan oleh bangsa asing, kini musuh terbesar justru datang dari dalam bangsa Indonesia sendiri.
Musuh itu berwujud keserakahan elite yang memperkaya diri sambil membiarkan rakyat terjerat dalam belenggu kemiskinan struktural.
Potret nyata dari ketimpangan ini adalah praktik rangkap jabatan para pejabat publik, korupsi besar-besaran yang tidak pernah tuntas diberantas secara hukum, penjahat kerah putih yang menunggangi kriminalitas, hingga oknum aparat yang menyelewengkan kewenangan demi kepentingan dan nafsu pribadi.
Artinya, tindakan ini tidak lagi hanya memperlebar jurang kesejahteraan, tetapi juga merusak sendi-sendi moralitas kekuasaan.
Sementara jutaan rakyat menjerit mencari pekerjaan, tercekik oleh tingginya harga kebutuhan pokok dan terbatasnya akses pendidikan maupun kesehatan, para pejabat justru sibuk mengumpulkan posisi, gaji, dan fasilitas.
Di tengah melambungnya angka pengangguran terdidik, pejabat yang seharusnya menjadi pelayan publik malah menjelma menjadi ‘penikmat negara’.
Bukankah jabatan publik seharusnya mengandung tanggung jawab moral dan nilai sakral yang tidak layak dirusak oleh kerakusan?
Lantas, bagaimana mungkin rakyat memercayakan masa depan kepada pejabat yang menjadikan jabatan sebagai lahan dagang dan prestise, bukan pengabdian?
Baca juga: Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
Masihkah kita ingin berpura-pura tidak melihat kenyataan bahwa kemiskinan struktural di negeri ini semakin mengakar?
Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook pada April 2025 mencatat bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia, berarti setara 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan global.
Sebaliknya, versi resmi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional hanya 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024.
Mengapa bisa demikian timpang?
Perbedaan ini terletak pada metodologi. Bank Dunia menggunakan pendekatan purchasing power parity (PPP) dengan tiga kategori, yaitu kemiskinan ekstrem di bawah 2,15 dollar AS per hari, negara berpendapatan menengah bawah di bawah 3,65 dollar AS, serta negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia di bawah 6,85 dollar AS.
Sedangkan BPS mengukur berdasarkan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), yaitu jumlah minimum pengeluaran untuk kebutuhan makanan (setara 2.100 kilo kalori per hari) dan nonmakanan seperti tempat tinggal, pendidikan, serta kesehatan.
Namun, pendekatan ini sering tidak mencerminkan kenyataan riil daya beli masyarakat di tengah inflasi dan disparitas harga antarwilayah.