GELOMBANG demonstrasi yang belakangan berujung anarkistis menyimpan fenomena baru yang patut dicermati oleh khalayak.
Ini bukan semata karena eskalasi kekerasan, melainkan karena keterlibatan kelompok usia yang sebelumnya jarang muncul: generasi Z, bahkan anak-anak yang masih di bangku SMP dan SMA.
Kasus di Banten pada 30 Agustus lalu, misalnya, menjadi alarm keras. Polisi menangkap 14 remaja yang kedapatan ikut membakar pos polisi, bahkan mereka sebelumnya telah berencana melemparkan molotov ke Mapolresta Serang.
Ironisnya, mereka bukan preman, bukan pula anggota organisasi ‘keras’. Mereka adalah anak-anak baik, rajin ibadah, sopan, dan hanya pamit “nongkrong di kafe.”
Namun di lapangan, mereka larut dalam kerumunan massa, melebur dan berbaur, hingga terjerumus pada aksi anarkis.
Di waktu yang sama, fenomena serupa juga muncul di Surabaya, di mana sebanyak 26 pelajar ditangkap polisi karena terlibat dalam demonstrasi yang berujung ricuh.
Baca juga: Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
Usia mereka sebagian besar masih belia. Sama seperti pada kasus di Banten, ada yang masih duduk di bangku SMA.
Belakangan, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menambah keprihatinan, mengonfirmasi fenomena yang ada.
Menurut Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, terdapat 20 anak atau pelajar di berbagai daerah yang menjadi korban kekerasan dalam kerusuhan demonstrasi sejak 25 Agustus lalu, dan kini masih dirawat intensif di rumah sakit.
Tragisnya, satu di antaranya sampai meninggal dunia: Andika Lutfi Falah (16), siswa kelas XI SMK Negeri 14 Kabupaten Tangerang. Semua ini tentu menunjukkan betapa seriusnya situasi.
Demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang ekspresi politik berubah menjadi arena yang menjerat anak-anak muda, bahkan mengorbankan nyawa mereka.
Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Artinya, saat ini usia mereka berkisar 13 hingga 28 tahun—sebagian masih duduk di bangku sekolah, sebagian lain menempuh kuliah, dan sisanya sudah memasuki dunia kerja.
Gen Z tumbuh dalam ekosistem digital. Sejak kecil mereka akrab atau terbiasa dengan internet, gawai, dan tak bisa lepas dari media sosial.
Hidup mereka selalu terhubung dengan layar, baik untuk belajar, berkomunikasi, mencari hiburan, maupun membentuk opini. Karena itu, sering disebut digital natives.
Karakter mereka pun khas: cepat menyerap informasi, kritis, berani, tapi juga rentan pada hoaks, impulsif, dan haus pengakuan sosial. Validasi sering diukur lewat jumlah like, komentar, atau views di media sosial.