PANDEGLANG, KOMPAS.com – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pandeglang, Banten, telah menjalin kerja sama dengan Kota Tangerang Selatan (Tangsel) untuk pengelolaan sampah.
Sampah dari Tangsel direncanakan akan ditampung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bangkonol yang terletak di Kecamatan Kroncong, Pandeglang.
Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi menjelaskan, kerja sama ini dilakukan setelah TPA Bangkonol menerima teguran administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Teguran tersebut disebabkan karena TPA masih menggunakan sistem pembuangan terbuka (open dumping).
Baca juga: Bupati Pandeglang Copot 2 Pejabat TPA Bangkonol Usai Warga Protes Sampah Tangsel
Pandeglang diberi waktu 180 hari untuk memperbaiki sistemnya menjadi sanitary landfill, jika tidak, TPA Bangkonol terancam ditutup.
Iing menambahkan, perbaikan tersebut membutuhkan dana hingga Rp40 miliar, yang dipastikan akan diperoleh melalui kerja sama dengan Tangsel.
“Rp40 miliar itu seluruhnya dipakai untuk perbaikan TPA Bangkonol agar tidak lagi open dumping, tapi beralih ke pengelolaan modern,” kata Iing pada Senin (28/7/2025).
Dana kompensasi tersebut rencananya akan digunakan untuk perluasan lahan seluas 3,5 hektar, pengadaan alat berat, serta mesin pengolahan Material Recovery Facility (MRF).
Selain itu, Pemkab Pandeglang memperkirakan akan memperoleh pendapatan asli daerah (PAD) antara Rp6–11 miliar per tahun dari retribusi sampah Tangsel.
Kerja sama ini ditargetkan mulai berjalan pada akhir Agustus 2025 dengan estimasi penanganan 500 ton sampah per hari.
Kontrak kerja sama pengolahan sampah tersebut ditandatangani pada Jumat, 25 Juli 2025.
Baca juga: Tolak Sampah Tangsel, Warga TPA Bangkonol Pandeglang Ancam Demo September Gelap
Namun, kontrak kerja sama ini memicu protes dari warga sekitar TPA Bangkonol.
Pada Kamis (7/8/2025), puluhan warga mendatangi kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pandeglang, bahkan sempat menutup akses masuk TPA dan membajak truk sampah untuk dibawa ke kantor DLH.
Seorang warga bernama Enjen menilai bahwa kerja sama tersebut hanya menguntungkan pemerintah, sementara masyarakat yang tinggal dekat TPA akan menanggung dampak negatif.
“Pemerintah mikirnya cuan saja, padahal ini bakal jadi petaka bagi kita,” ujar Enjen.