KARIMUN, KOMPAS.com - Warga Desa Buluh Patah, Kecamatan Sugie Besar, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau kini menghadapi dilema setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI menyegel aktivitas tambang pasir ilegal di Pulau Citlim.
Dilema tersebut diluapkan warga dalam aksi unjuk rasa di Kantor Desa Buluh Patah, Rabu (27/8/2025), sesaat setelah kedatangan Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP RI bersama Kepala Satuan Tugas (Satgas) Korsup Wilayah V KPK RI.
"Penyegelan sekarang ini masyarakat jadi susah. Kami warga desa cari makan ke perusahaan, karena pekerjaan mike (kamu semua) di situ lah yang ada. Kalau sekarang ini melaut kadang gak dapat, gak pasti. Kerja di perusahaan gajinya pasti," ujar Hamdani, salah satu warga Desa Buluh Patah.
Hamdani mengatakan dirinya sebagai nelayan tidak merasa terganggu dengan aktivitas pertambangan pasir. Meski kondisi laut disebut sedikit mengkhawatirkan, ia menilai hal itu tidak berdampak pada hasil tangkapannya.
Baca juga: KKP Verifikasi Tambang Pasir Ilegal di Citlim Karimun, KPK: Itu Melanggar Hukum
Menurutnya, perusahaan tambang juga kerap membantu warga, mulai dari perbaikan kapal nelayan hingga pemberian ganti rugi ketika aktivitas pengerukan berdampak pada laut.
"Memang pernah sekali ada kondisi tanah yang baru dikeruk mengotori laut. Namun itu karena memang di saat cuaca sangat buruk. Kalau dari perusahaan kami sudah lihat mereka pasang pembatas agar tidak mengotori laut. Saat itu terjadi, mereka memberi ganti rugi kepada kami dan seluruh warga mendapatkan ganti rugi tersebut," jelasnya.
Selain itu, warga juga menerima subsidi dari perusahaan. Setiap tongkang pembawa pasir yang bongkar muat di Pulau Citlim dikenakan kewajiban menyetor Rp 3 juta ke kas desa. Dana itu kemudian dibagi rata kepada 200 kepala keluarga.
"Masing-masing dapat Rp 800-900 ribu per tahun, ada subsidi yang diberi perusahaan kepada warga. Subsidi ini sudah berlangsung sejak 2019, saat perusahaan mulai beroperasi," kata seorang warga lainnya.
Baca juga: Kejari Karimun Tuntut 3 Kurir Ekstasi Senilai Rp 2,1 Miliar Dihukum Mati
Perusahaan tambang juga dianggap membantu pembangunan desa, termasuk penyediaan pasir, batu, dan kerikil untuk membangun rumah warga maupun fasilitas umum.
Warga berharap pemerintah hadir memberikan solusi. Selama ini, mereka menilai bantuan dari Pemkab Karimun jarang dirasakan.
"Kalau mau ditutup, tolong jawab warga akan makan apa karena selama ini kami warga bergantung pada perusahaan untuk bekerja," ujar warga.
Menanggapi hal ini, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP RI, Ahmad Aris, menyebut suara warga harus didengar pemerintah karena mereka tidak memiliki pilihan lain sebagai masyarakat Hinterland.
"Kita tahu respon masyarakat begini karena mereka tidak ada pilihan. Jadi sangat bergantung pada perusahaan terutama untuk bertahan hidup di area pulau ini," kata Ahmad Aris.
Ia menambahkan, KKP akan mendorong pembahasan lintas kementerian untuk membantu warga melepaskan ketergantungan terhadap perusahaan.
"Ini akan dibahas lebih lanjut, karena untuk ini dan segala jenis aturan yang ada. KKP tidak bisa sendiri, harus bergandengan dengan Kementerian ESDM," jelasnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini